13 Tahun Terlibat Dugaan Kriminalisasi Kakek 80 Tahun, Penyidik Bareskrim Akan Dipolisikan ke Listyo Sigit

13 Tahun Terlibat Dugaan Kriminalisasi Kakek 80 Tahun, Penyidik Bareskrim Akan Dipolisikan ke Listyo Sigit I Teras Media

Terasmedia.co Jakarta – Tindakan para oknum Penyidik Bareskrim Polri sudah sangat keterlaluan kepada Pencari Keadilan. Selama 13 tahun diduga terlibat dugaan kriminalisasi terhadap kakek berumur 80 tahun, Herman Djaya, maka dua Penyidik Bareskrim Polri akan dipolisikan kepada Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.

Kedua penyidik Bareskrim Polri itu adalah Iptu Azis Riyanto ,S.H., M.H., dan Ipda Iwan Santoso, S. H.

Bambang Djaya, yang merupakan adik kandung korban kriminalisasi Herman Djaya, sebagai juru bicara keluarga menyampaikan, oknum penyidik Polri yang sering bermain-main kasus dengan melakukan dugaan kriminalisasi terhadap para pencari keadilan harus ditindak tegas, dipecat dan dipidanakan dan dipenjarakan.

Bacaan Lainnya

“Kami akan melaporkan sendiri oknum Penyidik Bareskrim Polri yakni inisial Iptu AR dan Ipda IS kepada Kapolri Bapak Listyo Sigit Prabowo. Kami telah mengalami dugaan kriminaliasi oleh seseorang bernama Azis Wellang dengan berkolaborasi dengan oknum Penyidik Bareskrim Polri dan para oknum Jaksa. Sudah 13 tahun ini, kasus kami dipermain-mainkan oleh mereka, dan abang saya Herman Djaya sebagai korbannya,” ungkap Bambang Djaya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (18/03/2023).

Bambang Djaya menuturkan, sejak tahun 2010 silam, persoalan jual beli tanah dengan Herman Djaya selalu dipersoalkan oleh Azis Wellang. Yang paling baru, lanjut Bambang Djaya, berdasarkan Surat Laporan di Bareskrim, Herman Djaya dilaporkan oleh seseorang bernama Azis Welang dengan laporan BARESKRIM No.B/292/SUBDIT-I/XIII/2017/Dittipidum, tanggal 08 Desember 2017.

Yang menjadi Penyidik yang menindaklanjuti laporan Azis Wellang ini adalah Iptu Azis Riyanto ,S.H., M.H., dan Ipda Iwan Santoso, S. H. Laporannya Azis Wellang itu, kata dia, digantung-gantung dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi Herman Djaya. Urusan jual beli tanah, dikatakan Bambang Djaya, kok dipelintir menjadi laporan pidana di Bareskrim Polri.

“Padahal, laporan Azis Wellang tahun 2017 itu, sudah ditolak Jaksa Penuntut Umum sebanyak 3 kali P-19. Artinya, harusnya laporan yang tidak memenuhi itu semestinya sudah dihentikan oleh Penyidik Bareskrim Polri sejak tahun 2017 silam,” ungkap Bambang Djaya.

Anehnya, lanjut dia, pada bulan Januari 2023 lalu, tiba-tiba Herman Djaya dinyatakan sudah Tersangka, dan sudah diserahkan kepada Jaksa, untuk segera dilakukan Tahap II atau pelimpahan, dikarenakan sudah mendadak dinyatakan P-21 alias berkasnya lengkap.

“Abang saya Herman Djaya tidak pernah dinyatakan sebagai Tersangka. Dan terakhir kali memberi keterangan di Bareskrim Polri adalah pada tahun 2017 lalu. Setelahnya sudah tidak ada. Kok bisa tiba-tiba pada Januari 2023 lalu dinyatakan sudah P-21? Ini adalah skenario dan tindakan dugaan kriminalisasi yang dilakukan Pelapor Azis Wellang bersama oknum Penyidik Bareskrim Polri dan oknum Jaksa,” tutur Bambang Djaya.

Lagi pula, kata dia, tidak ada bukti-bukti dan fakta-fakta yang menyebut Herman Djaya melakukan dugaan tindak pidana sebagaimana dilaporkan oleh Azis Wellang itu.

“Sedangkan bukti-bukti dan dokumen-dokumen resmi yang disampaikan Herman Djaya, tidak pernah digubris, sengaja dibuang oleh oknum Penyidik Bareskrim Polri. Sehingga sangat nyata, bahwa skenario dugaan tindakan kriminalisasi dilakukan kepada Herman Djaya,” tuturnya lagi.

Karena itu, lanjut Bambang Djaya, demi keadilan dan kepastian hukum, kasus ini seharusnya dihentikan sejak awal. Namun, hingga kini masih terus dijadikan alat untuk melakukan dugaan kriminalisasi kepada Herman Djaya.

“Kami akan melaporkan oknum penyidik Bareskrim Polri itu ke Bareskrim Polri, juga kepada Kapolri Listyo Sigit. Selain itu akan kami laporkan ke Kadiv Propam Polri,” ujar Bambang Djaya.

“Selain itu, juga akan kami laporkan ke Menkopolhukam Mahfud MD, dan ke Komisi III DPR,” lanjut Bambang Djaya.

Bambang Djaya juga menduga kuat, ada dugaan sogok yang diterima oknum Penyidik Bareskrim Polri itu dari Pelapor Azis Wellang.

“Padahal, kami sampaikan beberapa bukti kuat dan fakta-fakta, malah enggak digubris. Kami menduga, itu sengaja dilakukan oknum Penyidik Bareskrim Polri untuk mengikuti maunya Azis Wellang saja,” jelas Bambang Djaya.

“Urusan ini sudah 13 tahun, enggak selesai-selesai. Persoalan jual beli tanah, yang korbannya adalah abang saya Herman Djaya, malah dilapor ke Bareskrim jadi Pidana. Sayangnya, Jaksa pun mengiyakan bahwa ini Pidana. Kalau begini caranya, sampai kapan pun masyarakat tak kan percaya dengan Polisi dan Jaksa,” tegas Bambang Djaya.

Anggota Kuasa Hukum Herman Djaya, Sofian Herianto Sianipar, menyampaikan adanya Kesepakatan Bersama Ketua MA, Menkumham, Jaksa Agung dan Kapolri, mengenai kasus yang sudah 3 kali ditolak, harus dihentikan.

“Peraturan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kapolri, yang menjelaskan bahwa jika sampai 3 kali ada berkas P-19, maka kasus itu harus dihentikan,” ujarnya.

Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung (MA), Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kapolri itu adalah Nomor 099/KMA/SKB/2010, Nomor: M.HH-35.UM.03.01 TAHUN 2010, Nomor: Kep-059/A/JA/05/2010, dan Nomor: B/14/V/2010, tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana Dalam Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Berkeadilan.

Sofian Herianto Sianipar juga menegaskan, proses P-21 yang dinyatakan Jaksa kepada kliennya Herman Djaya, ternyata tidak terpenuhi unsur-unsurnya.

“Kami mempertanyakan upaya P-21 itu. Karena dalam perjalanan, P-19 terjadi perubahan poin-poin Petunjuk yang harus dilengkapi oleh Penyidik. Misalnya, Petunjuk dalam P-19 pertama tidak terpenuhi, kok kemudian diubah petunjuknya. Apakah hal tersebut sesuai dengan SOP atau tidak?” ujarnya.

“Kemudian, ada peristiwa hukum dilakukan P-19 sebanyak 3 kali. Yang mana, berdasarkan Surat Keputusan Bersama atau SKB antara Ketua Mahkamah Agung, Menkumham, Jaksa Agung dan Kapolri, perkara tersebut tidak layak untuk dilanjutkan. Atau, segera harus dihentikan,” tandas Sofian Herianto Sianipar.

Bambang Djaya kemudian menyinggung adanya perbuatan melanggar prosedur dan hukum lainnya yang diduga dilakukan oleh oknum penyidik Polisi dan oknum Jaksa, yakni terkait laporan Herman Djaya di Polres Jakarta Pusat pada tahun 2016 silam. Yang mana pada waktu itu, berkas laporannya sudah dinyatakan lengkap atau P-21 oleh pihak Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus).

Azis Wellang Pernah Dilaporkan di Polres Jakpus dan Berkas Sudah P-21 di Kejari Jakpus, Kok Bebas?

Sebelumnya, kakek Herman Djaya, mengaku mengalami kriminalisasi mafia hukum dan mafia tanah. Herman Djaya berhadapan dengan terduga mafia hukum dan mafia tanah, Muhammad Andi Azis Wellang alias Andi Azis Wellang alias Azis Wellang.

Herman Djaya yang kini berusia 80 tahun itu, mengungkapkan, sudah 13 tahun ini dirinya dikriminalisasi oleh Azis Wellang melalui praktik-praktik mafia hukum dan mafia tanah yang berkolaborasi dengan oknum Polisi dan oknum Jaksa, oknum petugas BPN bahkan hingga oknum Hakim Agung di Mahkamah Agung.

“Saya pernah melaporkan Azis Wellang ke Polres Jakarta Pusat pada tahun 2016. Tentang Pasal 372 dan Pasal 378 KUHP. Dan kemudian berkasnya dinyatakan lengkap atau P-21 di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Namun aneh, kok sampai sekarang di tahun 2023 ini, Azis Wellang malah lepas dan bebas berkeliaran?” ungkap Herman Djaya kepada wartawan, Sabtu (04/03/2023) lalu.

Herman Djaya sangat menyayangkan kinerja oknum penyidik Kepolisian dan oknum Jaksa yang malah diduga berkolaborasi dengan Azis Wellang untuk mengkriminalisasi dirinya.

“Sebab, giliran laporan bodong, atau laporan tak berdasar mengenai dugaan pemalsuan surat yang dilakukan Azis Wellang di Bareskrim Polri pada tahun 2017 silam, malah ditindaklanjuti, dan kini saya ditetapkan tanpa bukti sebagai Tersangka. Berkasnya katanya sudah lengkap atau P-21 di tangan Jaksa. Aneh sekali mereka ini,” tutur Herman Djaya.

Herman Djaya membandingkan, laporannya terhadap Azis Wellang di Polres Jakarta Pusat pada tahun 2016 silam adalah mengenai Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sudah sempat sampai berkasnya dinyatakan lengkap atau P-21 oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus).

Pasal 372 KUHP berbunyi : Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.

Sedangkan ketentuan Pasal 378 KUHP menerangkan bahwa, yang dimaksud dengan penipuan adalah kondisi yang dilakukan oleh siapa pun dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dan orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, atau pun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

“Berkasnya sudah P-21 di Kejari Jakarta Pusat. Tapi sampai kini lepas dan tidak ada tindak lanjut. Azis Wellang tetap bebas melenggang,” ujar Herman Djaya.

Sedangkan laporan Azis Wellang kepada Herman Djaya pada tahun 2017 silam di Bareskrim Polri, kok malah dinyatakan lengkap atau P-21?

“Saya melaporkan Azis Wellang dan kaki tangannya yang bernama RD Arief B Perlambang alias Buce Perlambang pada tahun 2016 silam di Polres Jakarta Pusat. Dengan pasal 372 dan pasal 378 KUHP. Mereka bersekongkol menipu dan menggelapkan uang saya, untuk pembelian tanah di Kebon Kosong, Tanah Abang, Jakarta Pusat,” terang Herman Djaya.

“Karena itu, sekarang, saya memohon kepada Kapolri Listyo Sigit dan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, Bapak Burhanuddin, agar memberikan perlindungan hukum kepada saya, dan juga agar saya diberikan bantuan hukum dan penyelesaian persoalan saya yang sudah berlarut-larut hingga 13 tahun ini,” terang Herman Djaya lagi.

Herman Djaya yang kelahiran 10 Maret 1944 di Banyuwangi, Jawa Timur, mengaku, dirinya sudah 13 tahun ini mengalami kriminalisasi hukum dari oknum penyidik Polisi hingga oknum Jaksa, bahkan oknum Hakim Agung di Mahkamah Agung.

Diungkapkan Herman Djaya, pada 26 Januari 2023, dirinya tiba-tiba saya menerima Surat P-21 sehubungan dengan adanya laporan seseorang bernama Muhammad Andi Azis Wellang di Bareskrim Polri pada tahun 2017 silam.

Juga ada surat yang disebut sebagai inisiatif Jaksa yang meminta kepada Penyidik Bareskrim Polri akan melanjutkan penanganan laporan itu, dan akan membuat P-21.

Surat yang berisi melanjutkan permintaan Jaksa untuk penanganan laporan Azis Wellang itu, menurut Herman Djaya, diduga adalah palsu atau bodong, yang ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum antara lain Alviand Deswaldy, S.H., (Jaksa Pratama Utama), Deddy, S.H. M.H., (Jaksa Madya), Hevben, S.H., M.H., (Jaksa Muda) dan Drs. Joko Purwanto, S.H., (Jaksa Utama Muda) selaku Penuntut Umum.

“Suratnya menurut saya tidak tepat, sebab tidak memiliki keabsahan legalitas dari institusi Kejaksaan, tidak ada tanggal surat, tidak pakai kop surat, dan tidak ditandatangani dengan cap basah resmi pimpinan Kejaksaan Agung,” tutur Herman Djaya kepada wartawan, di Jakarta, Sabtu (04/03/2023) lalu.

Padahal, diungkapkan Herman Djaya, laporan dugaan pemalsuan yang dilakukan oleh seseorang bernama Muhammad Andi Azis Wellang di Bareskrim Polri pada tahun 2017 itu, seharusnya sudah selesai.

Sebab, dalam laporan tersebut, seseorang yang bernama RD Arief B Perlambang alias Buce Perlambang, yang diketahui juga sebagai kaki tangan Azis Wellang, yang dilaporkan dan dipidanakan atas dugaan pemalsuan sertifikat tanah di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

“Terakhir kali saya dimintai keterangan atas laporan itu adalah pada tahun 2017 silam itu. Dan waktu itu, saya menjelaskan, saya tidak melakukan pemalsuan, dan saya tidak ada sangkut pautnya dengan laporan itu. Semua sudah dibuktikan di Pengadilan. Dan Buce, yakni orang suruhan Azis Wellang sendiri yang masuk penjara waktu itu,” tutur Herman Djaya.

Berdasarkan Surat Laporan di Bareskrim, Herman Djaya dilaporkan oleh seseorang bernama Azis Welang dengan laporan BARESKRIM No.B/292/SUBDIT-I/XIII/2017/Dittipidum, tanggal 08 Desember 2017.

Yang menjadi Penyidik yang menindaklanjuti laporan Azis Wellang ini adalah Iptu Azis Riyanto ,S.H., M.H., dan Ipda Iwan Santoso, S. H.

“Saya menolak jika dituduh melakukan pemalsuan. Dan saya tidak terlibat atas laporan yang ditujukan kepada saya. Dan bahwa sudah ada pengakuan orang yang melakukan seperti laporan tersebut adalah seseorang bernama RD Arief B Perlambang alias Buce Perlambang,” beber Herman Djaya.

Kemudian, lanjutnya, waktu itu Jaksa yang menangani laporan itu adalah Jaksa bernama Rauf, yang diketahui saat ini sudah dipindah ke bagian Pidana Militer di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Pada saat itu, lanjut Herman Djaya, Jaksa Rauf pun sudah tiga kali mengembalikan berkas P-19 ke Bareskrim Polri, karena berkas itu dianggap tidak layak untuk diteruskan.

“Pak Rauf yang jadi Jaksa waktu itu, sudah 3 kali mengembalikan berkas ke Penyidik. Katanya, berkas itu tak layak menjadikan saya sebagai Tersangka, dan tak bisa dilanjutkan. Harusnya dihentikan oleh Penyidik, atau di-SP3. Sebab, menurut Jaksa Rauf, laporan Azis Wellang itu tidak jelas objeknya, dan tidak ada bukti objek yang dilaporkan,” tutur Herman Djaya.

Namun, kata dia lagi, sepertinya Azis Wellang dan kaki tangannya tidak berhenti untuk mempersoalkan Herman Djaya, dan terus-terusan mengupayakan kriminalisasi hukum kepada dirinya.

“Sejak tahun 2010 silam, saya terus-terusan dikriminalisasi oleh Azis Wellang melalui para oknum penyidik dan oknum Jaksa, oknum BPN, bahkan sampai ke Mahkamah Agung,” lanjutnya.

Herman Djaya juga memastikan, semua urusan kepemilikan jual beli tanah yang dipersoalkan Azis Wellang di Tanah Abang, Jakarta Pusat itu, sudah diuji dan diadili mulai Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bahkan hingga ke Mahkamah Agung (MA), dengan putusan kasasi pertama, yang menyatakan Herman Djaya adalah pemilik sah dari tanah tersebut.

Kemudian, lanjutnya, pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), sudah memerintahkan jajarannya agar segera mengubah kepemilikan tanah itu menjadi milik Herman Djaya.

“Bagaimana mungkin semua putusan dari Pengadilan itu palsu? Itu putusan pengadilan, putusan Negara loh. Namun, sayangnya, oknum di BPN Jakarta Pusat, tak kunjung melaksanakan eksekusi putusan-putusan itu. Sepertinya mereka menunggu arahan Azis Wellang saja,” tutur Herman Djaya.

Herman Djaya yang merupakan warga Jakarta yang tinggal di Jalan Pulo Mas VI C/10, RT 008/RW 01, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, mengaku sedih dengan perlakuan para oknum Aparat Penegak Hukum (APH) kepada dirinya selama 13 tahun ini.

“Saya kurang tahu motivasi mereka. Apakah mau memeras saya? Apakah mau mengintimidasi saya? Apakah mau mengancam saya dengan cara-cara yang sangat jauh dari keadilan itu?” ujarnya.

Maka, lanjutnya, ketika dirinya menerima Surat P-21 yang ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum antara lain Alviand Deswaldy, S.H., (Jaksa Pratama Utama), Deddy, S.H. M.H., (Jaksa Madya), Hevben, S.H., M.H., (Jaksa Muda) dan Drs Joko Purwanto, S.H., (Jaksa Utama Muda) selaku Penuntut Umum, sungguh membuat dirinya kaget.

“Saya tidak pernah dikomunikasikan dan tak pernah dimintai keterangan lagi sejak tahun 2017 silam. Kok bisa tiba-tiba ada Surat P-21 kepada saya? Saya kok terus-terusan dikriminalisasi?” ujar Herman Djaya lagi.

“Saya sudah memasuki usia 80 tahun sekarang. Saya sudah tua. Jangan saya diperlakukan seperti ini. Saya jangan dikriminalisasi,” ujarnya lagi.

Herman Djaya yang merasa dikriminalisasi sejak awal adanya perkara ini memohon kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin, agar kiranya diberikan perlindungan hukum, dan diberikan keadilan serta hak-haknya sebagai Warga Negara Republik Indonesia yang menjadi korban dugaan kriminalisasi selama ini.

“Saya memohon Perlindungan Hukum kepada Kapolri Listyo Sigit dan kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, Bapak ST Burhanuddin. Dan saya juga berniat baik, mohon saya dapat dibantu dalam penyelesaian perkara ini yang sudah berlarut-larut selama 13 tahun tidak kunjung selesai,” pinta Herman Djaya.

Hingga berita ini diturunkan, belum mendapat respon dari pihak-pihak seperti Penyidik, Bareskrim Polri, Kadiv Propam Polri, juga dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan dari Menkopolhukam Mahfud MD. (Rai)

Ikuti kami di Google News

Pos terkait