Terasmedia.co, | Perayaan 17 Agustus di Istana Negara tahun ini hampir pasti bakal jadi seremoni hari kemerdekaan terakhir Presiden Jokowi di Jakarta. Sebab, di perayaan yang sama tahun depan, sekaligus jelang akhir masa kepemimpinannya yang kedua, ditargetkan untuk dihelat di ibukota pengganti Jakarta, Ibu Kota Nusantara (IKN).
Untuk itu, pembangunan di ibu kota baru tersebut terus digeber dari fisik sampai nonfisik. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, misalnya, tengah mempercepat pembangunan jalan tol dari Balikpapan ke kawasan inti pemerintahan IKN.
Di lain sisi, pemerintah juga terus berusaha merayu pihak swasta untuk berinvestasi dalam pembangunan IKN di Kaltim. Berbagai insentif disiapkan, termasuk keringanan pajak. Saking digeber untuk IKN, ada kerjasama terbaru dengan Tiongkok yang membuat posisi Indonesia terjepit dalam kepentingan geopolitik Tiongkok.
Kata pengamat kebijakan publik Muslim Arbi, “Ada tiga hal kenapa kedaulatan NKRI terancam atas barter yang diberikan oleh pemerintah atas kerja sama itu.” jelas Arbi.
Tiongkok diberi konsesi mengelola IKN selama 160 Tahun. Kedua, Tiongkok mendapat HGU selama 190 tahun sesuai dengan Keppres yang diteken Presiden Jokowi. Dan terakhir, Tiongkok masih mengklaim Utara Natuna sebagai laut China Selatan. Meski kalah di Pengadilan Internasional di Den Haag soal UNCLOS.
Dengan tiga alasan utama itu, Arbi mendesak Jokowi harus membatalkan Keppres soal kerjasama dengan Tiongkok itu.
Sementara, Badan Otorita IKN mengklaim minat swasta untuk berinvestasi lebih besar dari lahan yang tersedia. Proyek bernilai Rp466 triliun itu juga bakal jalan terus, meski perekonomian dunia diprediksi akan menghadapi resesi.
Pembangunan IKN tahap pertama sudah dimulai dengan menggunakan dana dari APBN, dan akan berlangsung hingga 2024. Pemerintah mengklaim IKN akan mendorong pembangunan dan menggerakkan ekonomi di Indonesia timur.
Namun, sejumlah pengamat ekonomi masih skeptis pembangunan IKN akan memberikan dampak yang signifikan pada ekonomi nasional. Megaproyek IKN juga dikhawatirkan bakal menambah beban keuangan negara. Pemerintah dinilai berspekulasi dengan memulai pembangunan menggunakan APBN karena belum tentu kedepannya swasta akan tertarik.
Apalagi, IMF telah memprediksi perlambatan ekonomi global akibat perang di Ukraina serta naiknya harga-harga kebutuhan dasar, yang mendorong para investor untuk berinvestasi di aset-aset yang aman.