Bukan Wisuda Sarjana

Bukan Wisuda Sarjana I Teras Media
Foto: Ocit Abdurrosyid Siddiq

TerasMedia.co | Saat ini kita sedang berada di bulan Juni. Bulan ini berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Pada bulan Juni, gaji ke-13 cair. Pada bulan Juni, para orang tua disibukkan dengan pencarian sekolah untuk anak-anaknya. Dan pada bulan ini juga, para guru disibukkan dengan kewajiban membagikan tabungan siswa. Hehe, iya kan?

Pemerintah juga sebagian perusahaan swasta- menerapkan gaji ke-13. Sejatinya, bulan dalam satu tahun itu hanya ada 12. Maka, dalam rentang 12 bulan itulah kita bekerja. Logikanya, bekerja selama 12 bulan dalam satu tahun, maka kita menerima upah atau gaji selama satu tahun itu sebanyak 12 kali, yang dibayarkan setiap bulan.

Tetapi, dengan berbagai pertimbangan, salah satunya adalah bahwa pada bulan-bulan tertentu kita menghajatkan pendapatan lebih untuk mengatasi pembiayaan lebih, seperti liburan atau mendaftarkan anak untuk sekolah atau kuliah, maka pemerintah memberikan “bonus” berupa ketentuan untuk gaji ke-13.

Bacaan Lainnya

Karena bulan Juni juga sebagai bulan akhir tahun pelajaran, dan bulan Juli merupakan awal tahun pelajaran, yang pada saat itu banyak orang tua yang mendaftarkan anaknya sekolah atau kuliah, kita disibukkan dengan pencarian sekolah atau kampus yang baik dan biayanya terjangkau untuk tempat pendidikan bagi anak.

Sekolah-sekolah negeri masih menjadi favorit dibanding swasta. Banyak orang tua yang mengharapkan anaknya bisa belajar di sekolah negeri. Pertimbangannya, selain dianggap baik dan berkualitas, juga dikelola pemerintah. Karena dikelola oleh pemerintah, termasuk dalam hal pembiayaan, maka mafhumnya biayanya lebih terjangkau.

Banyak cara ditempuh. Mulai dari ikut seleksi beasiswa, jalur prestasi akademik, non akademik, tahfidz, SNMPTN, SBMPTN, jalur mandiri, hingga “jalur diluar yang resmi”, seperti halnya yang terjadi di salah satu perguruan tinggi negeri di Pulau Sumatera. Semua dilakukan dalam rangka memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.

Nah, bulan Juni juga kadang menjadi tulah bagi sebagian guru-guru. Beberapa diantara mereka jadi wali kelas, yang tugasnya bukan semata mengajar dan mendidik, tetapi juga mengawasi, membina, mendampingi, dan memerhatikan perkembangan murid-muridnya. Mulai dari akademiknya, kondisi kesehatannya, hingga keberadaan keluarganya.

Lalu, dimana letak tulahnya? Ini dia! Dengan alasan bahwa “rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”, dan dalam rangka mengantisipasi terjadinya pengeluaran biaya murid-murid di akhir tahun, wali kelas menyelenggarakan tabungan siswa. Mereka diberikan kesempatan untuk menitipkan sebagian uang jajannya kepada wali kelas. Menjadi tabungan siswa.

Uang yang terkumpul dari banyak siswa, walau jumlahnya tidak seberapa, tapi karena terkumpul hampir setiap hari, semakin lama terkumpul semakin besar. Sialnya, ada diantara wali kelas pengumpul tabungan siswa itu yang bukannya disimpan sebagai bentuk pengamanan di bank, malah digunakan untuk kepentingan sehari-hari.

Tentu hal itu tidak keliru apalagi salah. Karena tindakan yang dilakukan dengan penuh kesadaran itu, disertai dengan janji atau itikad untuk diganti dan seluruh uang simpanan siswa akan kembali utuh diberikan kepada siswa ketika tiba akhir tahun pelajaran, di bulan Juni. Nah, disinilah tulahnya.

Uang receh simpanan siswa setiap hari yang untuk sementara digunakan bagi keperluan sehari-hari dengan komitmen nanti akan diganti, menjadi besar jumlahnya. Mencapai belasan bahkan puluhan juta jumlahnya. Disaat guru itu sendiri mesti mengeluarkan biaya bagi keperluan keluarga, pada saat yang sama mesti mengganti uang tabungan siswa.

Karenanya, tidak sedikit cerita yang mengemuka perihal adanya tabungan siswa yang bermasalah. Guru tidak bisa mengembalikan titipan siswa. Pada kasus tertentu, ada sekolah yang digeruduk oleh orang tua siswa tersebab tabungan siswa menjadi macet. Tak sedikit guru yang mengatasinya dengan melakukan pinjaman. Menggali lubang untuk menutup lubang.

Bulan Juni juga merupakan akhir tahun pelajaran bagi sekolah atau madrasah. Biasanya sekolah menggelar kegiatan akhir tahun berupa acara perpisahan, pelepasan kelas akhir, yang dikemas dalam acara wisuda. Acara yang belakangan ini menjadi polemik tersebab banyak pendapat atas urgensinya.

Sebagian orang mempertanyakan urgensi wisuda yang diselenggarakan di tingkat SLTA, SLTP, SD dan MI, hingga tingkat TK dan PAUD. Alasannya, lazimnya wisuda hanya dikenal di tingkat perguruan tinggi. Bila setiap jenjang satuan pendidikan menyelenggarakan wisuda, maka wisuda di perguruan tinggi bisa menjadi kehilangan marwahnya.

Lebih dari itu, kelompok yang tidak sepakat dengan adanya penyelenggaraan wisuda selain di perguruan tinggi, adalah karena faktor biaya. Pertimbangannya, andai ada orang tua memiliki anak yang belajar di tiap tingkatan mulai PAUD hingga perguruan tinggi dan menyelenggarakan wisuda, bisa dibayangkan begitu besar biaya yang harus dia keluarkan.

Penyelenggaraan wisuda pada tiap jenjang pendidikan itu pastinya menghajatkan pembiayaan. Biasanya, perihal itu ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara pihak sekolah dengan orang tua siswa yang terhimpun dalam Komite Sekolah. Ketetapan itu berlaku bagi seluruh siswa dan orang tua.

Kontribusi biaya bagi penyelenggaran wisuda anak-anaknya tidak menjadi persoalan bagi orang tua yang ekonominya mapan. Namun menjadi soal bagi para orang tua berpenghasilan rendah. Bagi mereka, penyelenggaraan wisuda dengan biaya yang tidak sedikit itu sangat memberatkan. Itulah yang menjadi salah satu pertimbangan yang menyoal perkara ini.

Disisi lain, sebagian orang berpendapat bahwa penyelenggaraan wisuda pada satuan pendidikan itu bukan semata perkara biaya. Tetapi itu juga bisa menjadi ajang penampilan kreasi dan prestasi anak-anak setelah mereka selesai menempuh pembelajaran dan dinyatakan lulus. Pastinya, para pengelola lembaga dan guru-guru berada pada barisan pendapat ini.

Faktanya, ada banyak orang tua yang dengan rela mendukung penyelenggaraan wisuda demi menyaksikan kreasi dan prestasi anak-anaknya. Mereka sangat antusias dan turut merayakan. Wisuda anak pada satuan pendidikan merupakan momentum langka yang tidak bisa diulang kembali. Karena itulah mereka tidak keberatan, walau harus merogoh kantong lebih dalam.

Atas polemik yang terjadi, sebaiknya pemerintah mengambil langkah yang sekiranya bisa menjadi jalan tengah untuk mengakomodir masukan dan tanggapan dari masyarakat ini. Pemerintah mesti menjembatani antara mereka yang keberatan karena faktor urgensi dan pembiayaan, dengan mereka yang berniat mengapresiasi kreasi dan prestasi anak-anak.

Sesungguhnya, Pelaksana Tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Humas Kemendikbud Ristek Anang Ristanto menyatakan “kegiatan wisuda mulai dari jenjang PAUD, TK, SD, SMP hingga SMA merupakan kegiatan yang bersifat opsional. Artinya boleh dilakukan, boleh juga tidak”. Ini sih respon ambigu. Boleh dilakukan boleh tidak itu oleh siapa?

Mana ada hasil kesepakatan Komite Sekolah yang melibatkan orang tua dan pengelola pendidikan yang bersepakat untuk menggelar wisuda hanya bagi siswa dan atau orang tua yang mau saja? Secara psikologis, karena ewuh-pakewuh kecil kemungkinan ada orang tua yang berniat untuk tidak menyertakan anaknya dalam prosesi wisuda hanya karena keberatan biaya.

_Pelebah_ itulah wisuda menjadi beban bagi orang tua. Dia menjadi kerok. Di satu sisi menginginkan anaknya tampil dalam prosesi wisuda dengan menunjukkan prestasinya. Dan itu merupakan bagian dari kebanggaan orang tua. Di sisi lain terbentur pada persoalan biaya. _Boro jang wisuda anak, jang sapopoe meuli beas geh ripuh._

Bila pun maksud pemerintah dengan istilah opsional itu adalah boleh dilakukan oleh satu sekolah dan boleh tidak dilakukan oleh sekolah lain, tergantung kepada kesepakatan Komite Sekolah, ini juga tetap bermasalah. Karena wisuda yang identik dengan gebyar sekolah, juga bisa berdampak terhadap citra sekolah itu sendiri.

_Laju, kumaha lamun geus kitu? Prung lah urang cacahan!_
***

Pasirgintung, Sabtu, 17 Juni 2023

Ikuti kami di Google News

Pos terkait