TerasMedia.co, Serang | Di tengah ramai suasana sekolah SMA N 1 Serang, Satia melangkah pelan di koridor yang dipenuhi suara tawa teman-temannya. Rambutnya tergerai lembut, matanya yang besar selalu terlihat tenang, namun hari ini ada sesuatu yang berbeda. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya saat melihat Otniel, teman sekelasnya, berdiri di pojok koridor dengan sekumpulan teman. Pria itu memang tidak pernah terlalu mencolok, tapi bagi Satia, Otniel adalah satu-satunya yang selalu membuatnya merasa… berbeda.
Satia tersenyum kecil. Hati kecilnya berharap bisa lebih dekat dengan Otniel, tapi ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya.
“Hey, Satia!” suara seorang gadis tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Siska Bela, gadis dengan senyuman sinis yang selalu mengawasi setiap gerak Satia.
“Ya, ada apa, Sis?” tanya Satia, mencoba untuk bersikap biasa.
“Aku lihat, kamu sering ngelihatin Otniel akhir-akhir ini. Kamu naksir ya?” tanya Siska dengan nada tajam.
Satia terkejut, wajahnya memerah. “Enggak, kok. Cuma… dia teman sekelas kita.”
“Teman?” Siska tertawa pelan, matanya menyipit. “Jangan mimpi deh, Satia. Kamu nggak ada apa-apanya dibanding aku. Kalau aku mau, Otniel bisa jadi milikku kapan aja.”
Satia hanya bisa diam, hatinya terasa diremas mendengar kata-kata Siska. Ia tahu bahwa Siska juga suka pada Otniel, tapi ia tak pernah menyangka gadis itu akan sejahat ini.
Sore itu, di halaman belakang sekolah, Satia sedang duduk sendirian di bawah pohon mangga, memikirkan perasaannya yang terpendam. Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Saat menoleh, Otniel sudah berdiri di sana, tersenyum hangat.
“Hei, kamu sendirian?” tanya Otniel sambil duduk di sebelahnya.
“Ya, aku… cuma lagi cari udara segar,” jawab Satia dengan gugup.
Otniel tertawa kecil. “Aku sering lihat kamu di sini. Sepertinya tempat ini memang tenang, ya?”
Satia mengangguk pelan. “Iya, aku suka di sini. Rasanya nyaman.”
Beberapa detik hening. Suara angin yang berhembus lembut mengisi keheningan di antara mereka.
“Satia,” Otniel memecah keheningan, menatap Satia dalam-dalam. “Aku sudah lama ingin bicara sama kamu.”
Satia terkejut, jantungnya berdegup kencang. “Bicara tentang apa?”
“Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku selalu merasa ada yang spesial dari kamu. Setiap kali aku lihat kamu tersenyum, aku merasa… berbeda. Aku nggak tahu gimana harus ngomongnya, tapi… aku suka sama kamu.”
Wajah Satia memerah seketika. Ini adalah hal yang tak pernah ia duga akan terjadi. “Otniel… kamu serius?”
Otniel mengangguk, menatapnya dengan tulus. “Serius. Aku nggak peduli apa kata orang lain. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku.”
Air mata kecil mulai menggenang di mata Satia. “Aku juga suka sama kamu, Otniel. Tapi aku takut… ada orang yang nggak suka kalau kita bersama.”
Otniel tersenyum, lalu menggenggam tangan Satia dengan lembut. “Kita nggak perlu peduli dengan orang lain, Satia. Yang penting, kita tahu perasaan kita.”
Namun, dari kejauhan, Siska Bela melihat mereka berdua dan wajahnya memerah karena marah. Ia tidak bisa terima Otniel lebih memilih Satia. Dengan penuh dendam, Siska melangkah ke arah mereka.
“Satia! Otniel!” Siska berteriak, menghampiri mereka dengan wajah yang dipenuhi amarah. “Kamu pikir kamu bisa merebut Otniel dariku, Satia?”
Satia tersentak, ia langsung melepaskan genggaman tangannya dari Otniel. “Siska, aku…”
“Tutup mulutmu!” bentak Siska. “Otniel adalah milikku! Kamu gadis biasa yang nggak pantas bersanding dengannya!”
Otniel berdiri, melindungi Satia. “Siska, berhenti. Aku bukan milik siapa pun. Aku yang memutuskan siapa yang aku suka. Dan aku suka Satia, bukan kamu.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menembus hati Siska. Matanya berkilat penuh kebencian. “Kamu akan menyesal, Otniel. Kamu nggak tahu siapa Satia sebenarnya. Dia cuma gadis pengecut yang nggak pernah punya nyali untuk menghadapiku.”
Satia menunduk, merasa kata-kata Siska menyakitinya.
Namun, Otniel mendekatkan diri pada Satia, mengangkat wajahnya yang tertunduk. “Satia, jangan dengarkan dia. Aku di sini bersamamu, dan itu yang terpenting.”
Siska mendengus kesal. “Kita lihat sampai kapan kamu bertahan, Otniel,” ujarnya sebelum berbalik dan pergi dengan langkah kasar.
Satia menatap Otniel, matanya masih berkaca-kaca. “Otniel, aku takut Siska akan melakukan sesuatu yang buruk.”
Otniel tersenyum lembut, lalu mengusap pipi Satia. “Kita akan hadapi semuanya bersama. Aku di sini, dan aku nggak akan pergi ke mana-mana.”
Dalam keheningan yang hangat, Satia menyadari bahwa perasaan cinta yang ia pendam selama ini telah menemukan jalannya. Meski Siska menjadi duri dalam perjalanan mereka, Satia tahu bahwa bersama Otniel, ia bisa melalui semuanya.
Dan di bawah pohon mangga itu, cinta mereka tumbuh, dengan segala tantangan yang mungkin akan mereka hadapi. (Bersambung).