Terasmedia.co Jakarta – Menggegerkan?. Ya dan tidak. Itulah rencana Megaproyek pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) II seluas 2.650 hektar. Boleh jadi, sebagian masyarakat Indonesia terkejut. Bagaimana tidak?. Dalam suasana “senyap” tiba-tiba muncul pembangunan wilayah PIK II itu.
Infrastuktur jalan telah dibangun. Cukup memukau. Permanen dan berdaya tarik. Semakin berdaya tarik lagi sejalan dengan kawasan PIK II berposisi langsung : di “bibir” pantai, berakses langsung ke wilayah lepas Laut Jawa. Tak jauh beda dengan PIK I, yang seluruhnya berlokasi di Pantai Utara Jakarta.
Publik juga memang harus terkejut atau bergeleng kepala. PIK II yang sebagian lokasinya wilayah Jakarta Utara dan Banten itu, ternyata hanya dihargai sekitar Rp 50.000 / M2. Masyarakat pemilik lahan harus menjualnya. Tak ada opsi lain : harus manut memenuhi permintaan pengembang, yang jelas berstatus swasta China (Agung Sedayu Group dan Salim Group).
Apa hak mereka memaksakan kehendak? Tak bisa disangkal, ada back up rezim dan kekuatan milisinya, yang tentu akan berbuntut panjang jika menolak. Mengejutkan lagi, dijual dengan harga per M2 itu dipatok Rp 36.000.000 per M2. Luar biasa kapitalistiknya.
Ada bebarapa pemikiran yang harus disikapi lebih jauh dari panorama PIK II. Yaitu – pertama – ketidakmanusiaan sekaligus penginjak-injakan martabat anak bangsa (Pribumi) Indonesia ini. Penjualan paksa Rp. 50.000,- per M2 , jelaslah menyalahi prinsip NJOP. Sementara, NJOP di karasan partai sana antara Rp 19.000.000 – Rp 23.000.000 per M2.
Transaksi itu sungguh mencerminkan tindakan intimidasi. Malanggar hak asasi manusia (HAM) atas hak kepemilikan tanah. Pelangagran HAM ini sungguh serius dan sangat menistakan hak para pemiliknya ketika ternyata akan dijual Rp 36.000.000 per M2. Tentu, harga jualnya akan jauh lebih mahal lagi , ketika sudah berbentuk bangunan. Dan letak perumahan di Kawasan yang berada di “bibir” pantai, akan menambah nilai jualnya lagi.
*Kedua, sulit dipungkiri, realisasi pembangunan PIK II akan menambah pekerjaan berat dalam konteks pengawasan teritorial. Seperti yang kita saksikan pada PIK I – sebagai analisis kompatatif factual – data yang sering kita dapatkan, kawasan ini menjadi transit dan exit bagi orang-orang asing secara ilegal. Sangat mungkin tak dilengkapi dokumen resmi imigrasi.
Yang merisaukan, bukan hanya maraknya people smuggling (penyelundupan orang), tapi barang-barang yang dibawanya. Beberapa waktu lalu, tertangkap sejumlah narkoba yang dibawanya. Bahkan, terdapat industri rumahan yang mengolah barang haram itu. Realitas ini menjadikan pertanyaan tersendiri, apakah industri pengolahan narkoba berbasis rumahan di PIK itu murni bisnis, atau memang hidden agenda dalam upaya menghancurkan mental, moral dan kesehatan anak bangsa ini?.
Jika kita membuka kembali sejarah Perang Candu I (Opium War) antara Dinasti Qing (Tiongkok) dengan Inggris Raya (1839 – 1842), Inggris berhasil memaksa China untuk mengimpor opium. Berjatuhanlah kekuatan Tiongkok, sehingga Hong Kong saat itu berhasil dikuasai Inggris. Yang perlu kita garis-bawahi adalah opium menjadi malapetaka (jatuh mentalnya) pasukan China. Banyak yang “teler”, tak bisa berpikir brilian, apalagi bertindak sigap.
Berkaca dari Perang Candu itu, maka tidaklah berlebihan jika kita berpandangan atau mencurigai, pembangunan PIK I dan II adalah bagian dari grand design untuk mengahcurkan anak bangsa Indonesia. Menjadi pelengkap agenda neokolonialisasi yang sudah berjalan sekian lama yang lalu. Jika zaman Orde Baru, mereka berusaha menguasai sektor ekonomi dan itu sudah berhasil. Pada rezim Jokowi ini, langkahnya jauh lebih agresif.
Ekonomi tetap dikuasai, melebar ke penguasaan sektor politik. Berhasil juga. Melalui pengendalian dominan terhadap rezim Jokowi, perangkat strategis lainnya pun digarap serius. Megaproyek IKN di samping “importasi” manusia-manusia China secara besar-besaran menjadikan gerakan neokolonialisasinya semakin menampak.
Berkaca pada PIK I, kita tak bisa memungkiri fakta, tak semua orang berstatus WNI leluasa memasuki wilayah PIK I. Ada satuan pengamanan yang ketat dilarang memasukinya bagi warga non penghuni PIK I.. Kini, PIK II sudah menapak jelas derapnya. Muncul pertanyaan, apakah akan diberlakukan “aturan” yang sama seperti di PIK I itu?.
Sebuah renungan – sebagai hal ketiga – ketika regulasi wilayah PIK II tak beda dengan PIK I, semakin jelas posisi wilayah ini bagai “negara dalam negara”. Tidak hanya punya aturan tersendiri, tapi juga “kedaulatannya”. Wow. Sebuah gambaran obyektif yang mempertanyakan kita bagaimana TNI memandang “kedaulatan” PIK I dan II nanti?
Konstitusi kita tak mengenal keberadaan “negara dalam negara”. Implikasinyam bukan hanya melarang keberadaan itu, tapi harus menyikapi tegas keberadaan kawasan yang siap menjadi negara dalam negara. Jangankan kawasan yang yang direncanakan sampai 2.650 hektar, 1 jengkal pun haram dicaplok. Untuk itu, tak ada opsi politik lain kecuali harus menggagalkannya. Meski infrastruktur sudah berjalanan, tapi perumahan di seputar bibir pantai wajib dilarang.
Kini, Prabowo yang notabene mengaku sebagai TNI yang lebih dari TNI akan diuji integritas nasionalismenya. Apakah akan tunduk pada desain besar “negara dalam negara” versi China yang kini sedang berkomprador dengan Jokowi?. Jika Prabowo tak beda dengan pendahulunya (Jokowi), maka sudah selayaknya para pendekar Banten dan Betawi turun tangan. Sementara, para patriot dari anasir TNI yang notabene berjiwa setia pada NKRI tak selayaknya menjadi pecundang munafik. Bangkitlah dan hadapi kekuatan komprador itu.
PIK II kemungkinan besar tak akan jauh beda dengan PIK I. Juga, tak akan beda jauh dari konsep dasar IKN. Maka, sebelum PIK II dan IKN beroperasi menjadi kawasan mayoritas penduduk China, seruan jihad anti kolonial harus dikobarkan. Itulah nasionalisme sejati yang harus disadari.
Artikulasinya terserah, sesuai kekuatan yang dimiliki masing-masing. Para penyelenggara negara dari anasir legislatif tak sepantasnya diam seribu Bahasa. Di depan kalian, siap hadir “negara dalam negara”. Dimana martabat kalian. Jangan bicara demi rakyat, jika sikapnya hanyalah sang hipokrat tulen. Ironis.