Dugaan Praktik Mafia Tanah di Desa Pelawan Kutai Timur

Dugaan Praktik Mafia Tanah di Desa Pelawan Kutai Timur I Teras Media
Keterangan foto : dugaan praktik mafia tanah di Desa Pelawan, Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim), Jumat (19/5/2023)

Terasmedia.co SANGATTA – Aroma dugaan praktik mafia tanah di Desa Pelawan, Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim), mulai tercium. Modusnya menguasai lahan kosong, pun lahan berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di sekitar Izin Usaha Pertambangan (IUP) agar terkena dampak penambangan atau jalan hauling batu bara.

Dengan begitu para pemilik tanah bisa “memeras” perusahaan dengan leluasa karena mengantongi sertifikat.

Hal ini yang dialami perusahan batu bara PT Anugerah Rizkie Gunung (ARG) saat melakukan penambangan batu bara di Desa Batu Lepoq, Kecamatan Karangan, Kutim.

Bacaan Lainnya

Letak Desa Pelawan dan Batu Lepoq berbatasan langsung.

PT ARG merasa “ditodong” oleh tiga pemilik lahan dan meminta membayar fee senilai Rp 20.000 untuk setiap metrik ton batu bara yang diangkut.

Dibantu Kepala Desa Pelawan Nurhan mereka menutup jalan hauling PT ARG, pada Selasa (12/4/2023). Karena, mengklaim lahan jalan hauling itu milik warga.

Kades Nurhan bahkan menyurati PT ARG meminta agar berhenti operasi menggunakan jalan hauling tersebut. Surat tertanggal 3 Mei 2023 dengan Nomor 142/155/PEMDES ditandatangani Nurhan dan Ketua Adat Pelawan, Jainudin.

Belakangan, tudingan itu tidak terbukti setelah tim dari BPN Kutim turun ke lokasi mengambil titik koordinat. Klaim kepemilikan lahan di jalan hauling ternyata di luar sertifikat.

UANG BESAR

Kembali ke permintaan fee pemilik tanah, jika dianalogikan setiap satu tongkang batu bara yang dimuat berkapasitas 5.000 metrik ton, maka PT ARG harus membayar Rp 100 juta per tongkang ke pemilik tanah.

Dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT ARG jumlah produksi batu bara selama 2023 sebesar 1,5 juta metrik ton. Jumlah itu jika di kali Rp 20.000, maka warga pemilik tanah itu meraup untung Rp 30 miliar per tahun.

Salah satu kontraktor PT ARG, Ito mengaku pernah mendapat tawaran fee Rp 20.000 itu, namun dirinya menolak.

PROSES HUKUM JALAN TERUS

Meski tak terbukti, PT ARG sudah merugi puluhan miliar rupiah akibat penutupan jalan hauling. Aktivitas perusahaan sempat tersendat kurang lebih 15 hari.

Langkah penutupan jalan hauling oleh Kades Pelawan dkk ternyata blunder.

Selain tak terbukti, PT ARG ternyata sudah menempuh jalur hukum dengan melapor Kades dkk ke Polres Kutim, pada 4 Mei 2023.

Kini Kades dkk dalam pemeriksaan Penyidik Polisi Satrekrim Polres Kutim, karena menghalangi kegiatan usaha pertambangan.

Mereka diduga melanggar Pasal 162 UU Nomor 3/2020 tentang Minerba, dengan ancaman pidana penjara 1 tahun atau denda maksimal Rp 100 juta.

“Proses hukumnya jalan terus. Saat ini kita masih periksa para terlapor,” ungkap penyidik.

Sebagai informasi, PT ARG mulai melakukan penambangan batu bara di lokasi tersebut setelah mendapat IUP operasi produksi 2018 dengan seluas 11. 250 hektar.

Total itu melingkupi 4 Desa dan 2 Kecamatan yakni Desa Batu Lepoq dan Desa Mukti Lestari berada di Kecamatan Karangan. Sementara, Desa Pelawan dan Desa Tepian Terap berada di Kecamatan Sangkulirang.

Di Desa Batu Lepoq batas IUP ARG berdampingan HGU perusahaan sawit Etam Bersama Lestari (EBL) dengan jarak kurang 400 meter. Pada 2021, BPN Kutim menertibkan 7 sertifikat di atas kawasan itu.

Jalur hauling menuju Jetty melintasi batas 7 sertifikat itu. Dari 7 sertifikat, 3 di antaranya SHM milik warga Desa Pelawan yakni Abdul Rasid, Parhan, Heri Suparjan.

Sementara, 4 sertifikat lainnya HGB diduga milik oknum pegawai BPN Kutai Timur.

TERBIT DI ATAS LAHAN HPL, 7 SERTIFIKAT CACAT HUKUM

Hasil penelusuran lapangan menemukan beberapa kejanggalan atas terbitnya 7 sertifikat tersebut.

Pertama, letak 7 sertifikat itu berada di atas kawasan yang berstatus Hak Pengelolan Lahan (HPL) transmigrasi berdasarkan SK 29/HPL/BPN/1998.

Artinya, 3 SHM dan 4 HGB itu harusnya batal demi hukum. BPN diminta menarik kembali produk sertifikat itu.

Sebab, kawasan itu merupakan tanah negara yang hak pengelolaan diserahkan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kutim maupun Kaltim.

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA), lahan HPL bukan merupakan hak atas tanah sebagaimana Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU) atau pun Hak Guna Bangunan (HGB).

Kasi Pengendalian dan Penanganan Sengketa BPN Kutim, Bagia menyebutkan penerbitan sertifikat di atas lahan HPL transmigrasi itu, merupakan kesalahan yang tidak disengaja.

Sebab, kata dia, SK HPL terbit 1998, jauh sebelum sistem digitalisasi, sehingga menyulitkan pihaknya untuk memastikan patok lahan tersebut berstatus HPL atau tidak.

“Sepanjang tidak ditemukan patok HPL kami sampaikan itu masih indikatif. Termasuk kami pun tidak punya peta yang jelas, karena kami hanya terima dokumen manual dulu,” kata Bagia.

LETAK OBJEK TANAH TIDAK SESUAI SERTIFIKAT

Temuan kedua, berdasarkan salinan dokumen SHM yang diterima media ini menunjukan ketidaksesuaian letak objek tanah dengan dokumen sertifikat.

Dalam dokumen sertifikat tertera letak objek tanah berada di Desa Pelawan, Kecamatan Sangkulirang. Namun, fakta lapangan objek tanah justru terletak di Batu Lepoq, Kecamatan Karangan. Kedua desa ini berbatasan langsung.

Bagia menduga ada 2 kemungkinan hal itu terjadi. Pertama, karena ada perubahan tapal batas desa setelah terbit sertifikat dan kedua, kemungkinan diterbitkan melalui program PTSL.

“Ini kemungkinan proyek PTSL. Jadi proyek kejar-kejaran ini. Tapi itu gampang aja betulinnya engga ada masalah, sepanjang pemiliknya tepat,” kata dia.

Ketua Tim Tata Batas Desa Batu Lepoq, Saipul Anwar menyatakan memang ada perubahan atau pergeseran batas desa berdasarkan Permendagri 2016.

Dengan peta kerja yang disusun Desa Pelawan 2018 dan peta kerja yang disusun Desa Batu Lepoq tahun 2020.

“Kemudian dikuatkan dengan kesepakatan bersama yang difasilitasi Kabag Pemerintahan Pemkab Kutim,” kata Saipul.

OKNUM BPN DIDUGA IKUT CAWE-CAWE

Temuan lainnya, oknum BPN Kutim diduga ikut cawe-cawe dalam proses penerbitan sertifikat tersebut. Bagaimana tidak, 7 sertifikat itu berhasil diterbit di atas kawasan HPL yang seharusnya tak diperbolehkan.

Selain itu, terbitnya 7 sertifikat itu juga tepat di ruang kosong, tepat di sela-sela batas IUP dan HGU seperti kebetulan yang disengaja.

Temuan lainnya, kepemilikan sertifikat HGB oleh oknum pegawai BPN Kutai Timur semakin menguatkan indikasi tersebut.

Aan Nugraha, salah satu saksi yang hadir dalam pengambilan titik koordinat menyebut saat di lokasi petugas BPN yang memberitahu bahwa pemilik 4 sertifikat HGB itu adalah pegawai BPN Kutim.

“Pak Josan sendiri yang bilang kalau 4 sertifikat itu milik orang BPN. Semua orang dengar kok, waktu kami di lapangan ramai kok,” kisah Aan.

Aan yang menjemput Josan dari rumahnya di Sangatta menggunakan mobil menuju lokasi pengukuran saat itu.

Sepanjang perjalanan, kata Aan, Josan beberapa kali menerima panggilan telpon dari seseorang. Dari percakapan telepon, Josan beberapa kali memanggil nama Oso yang diduga sebagai penelpon.

“Lalu saya tanya ke Pak Josan, teleponan sama siapa? Katanya, Pak Oso orang BPN juga,” kisah Aan.

Aan baru sadar ada dugaan permainan di balik terbitnya 7 sertifikat itu, setelah mendengar langsung di lapangan bahwa 4 sertifikat di antaranya diduga milik petugas BPN bernama Oso.

“Kalau tidak ada izin tambang di sini, tidak mungkin terbit 7 sertifikat itu,” kata dia.

Josan enggan memberikan keterangan saat dikonfirmasi media ini melalui sambungan ponsel.

“Untuk keperluan wawancara, sebaiknya ajukan dulu surat permohonan (wawancara) ke kantor (BPN) termasuk data apa yang diminta,” ungkap Josan sekaligus menjawab permintaan data nama pemilik 4 sertifikat yang disinyalir punya oknum petugas BPN Kutim.

SEBUT TAK TAHU BANYAK INFORMASI

Awal ketika dikonfirmasi, Bagia mengaku tidak tahu kasus yang terjadi di Desa Pelawan dan Batu Lepoq.

Bahkan, 2 petugas survei dan pemetaan dari BPN yang turun ke lokasi melakukan pengambilan titik koordinat pun tak diketahui Bagia.

Dia baru mengakui, setelah media ini menunjukan peta hasil ukur dan menyebut 2 nama petugas Josan Hudanaji dan Syahrizal.

“Saya tidak tahu karena memang tidak dikonfirmasi, tidak diikutkan. Kalau nama petugasnya (Josan dan Syahrizal) benar ada di sini,” kata dia.

Saat turun ke lokasi, Josan Hudanaji dan Syahrizal mengantongi Surat Tugas 73/ST-64.08/IV/2023 atas surat permohonan Unit Reskrim Polsek Sangkulirang.

Sebelum mengakui, Bagia beberapa kali melempar asumsi bahwa petugas yang turun ke lapangan, kemungkinan dari Dinas Pertanahan dan Penataan Ruang Pemkab Kutim.

Bagia juga tidak menunjukan data nama pemilik 4 sertifikat yang diduga milik petugas BPN untuk membuktikan kebenaran informasi.

Menyinggung soal ada indikasi dugaan adanya praktif mafia tanah, Bagia tak ingin memberi kesimpulan apapun. Baginya perlu penyelidikan lebih mendalam.

NAMA PEMILIK 4 SERTIFIKAT DI PETA TAK DISERTAKAN

Jika menelaah dokumen peta identifikasi lapangan dan kutipan data pertanahan yang diolah BPN usai Josan dan Syahrizal dari lokasi, menunjukan ada 7 bidang tanah dengan 7 sertifikat yang letaknya bersisian di luar lintasan jalan hauling PT ARG.

Tujuh sertifikat itu, 3 di antaranya milik warga yakni sertifikat hak milik (SHM). Pada peta bidang tertera nama pemilik dan nomor SHM.

Sementara, 4 sertifikat lainnya dibiarkan kosong tanpa nama dan nomor. Ini yang diduga milik oknum pegawai BPN Kutim.

“Ini peta yang kerjakan orang BPN, tapi dalam kerangka mendukung kerja polisi,” ungkap Kasi Pengendalian dan Penanganan Sengketa BPN Kutim, Bagia.

Bagia mengaku tak tahu kepemilikan sertifikat oleh oknum pegawai BPN di lokasi tersebut.

Dia juga tak mau mengecek di sistem BPN saat diminta awak media. Katanya, itu bukan haknya.

“Nama sertifikat saya tidak tahu. Pengecekan hanya boleh yang punya. Saya kan engga boleh tahu isi rumah Anda, kecuali kepentingan penegak hukum,” tegas dia. (Nanang)

Ikuti kami di Google News

Pos terkait