Terasmedia.co Samarinda – Ketua Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Darius Naftali disomasi secara personal oleh 4 warga Samarinda. Mereka di antaranya, Hanry Sulistio, Abdul Rahim, Lisia dan Faizal Amri Darmawan. Surat somasi telah dilayangkan ke PN Samarinda, Rabu (28/9/2022).
Ke 4 warga Samarinda ini sebelumnya mengajukan hak ingkar dalam tiga perkara, yakni Perkara Nomor 118/Pdt.G/2022/PN Smr, kemudian Perkara Nomor 35/Pdt.G/2022/PN Smr dan Perkara Nomor 49/Pdt.G/2022/PN Smr.
Baca juga : KO BISA…!Warga Samarinda Laporkan Ketua PN Sebagai Oknum Pengadilan ke PT
Hak ingkar menurut KBBI adalah hak para pihak yang berperkara untuk mengajukan keberatan disertai alasan terhadap hakim yang mengadili perkara.
Permintaaan hak ingkar diajukan seara lisan di persidangan dan melalui surat permohonan hak ingkar ke Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, pada Kamis (8/9/2022). Surat itu ditujukan ke Ketua PN Samarinda, Darius Naftali.
Adapun alasan mengajukan hak ingkar karena Hanry dkk tak percaya 2 hakim PN Samarinda yang adili perkara mereka pasalnya mereka terindikasi melanggar asas perdata Para penggugat. Kedua Hakim tersebut yaitu Rakhmad Dwi Nanto dan Nyoto Hindaryanto.
Namun, permohonan itu ditolak Ketua PN Darius Naftali melalui surat balasan Nomor W118-U1/5386/HK.02.1/IX/2022, pada 21 September 2022. Darius menilai para hakim yang mengadili tidak memiliki konflik kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.
“Sehingga tidak terdapat cukup alasan bagi kami untuk melakukan pergantian susunan majelis hakim quo,” demikian dikutip isi surat tersebut.
Tak puas, Hanry dkk melayangkan somasi kepada Darius. Hanry mengatakan somasi itu ditujukan secara pribadi atau personal karena menganggap Darius telah menyalahgunakan jabatan Ketua PN dengan membuat keputusan melanggar hukum.
“Kami anggap surat Ketua PN yang tak mengakomodasi hak ingkar kami merupakan cacat hukum dan melanggar UU,” ungkap Hanry Sulistio kepada awak media di Samarinda usai menyerahkan somasi.
*GUGATAN PERSONAL 3 HAKIM*
Sebelumnya, ke 4 warga ini menggugat 3 pribadi hakim di PN Samarinda, namun gugatan itu dalam kapasitas bukan sebagai hakim, melainkan gugatan personal atau pribadi hakim alias oknum hakim.
Ketiga hakim yang digugat yakni Kadar Slamet selaku Hakim Tinggi di PTUN Jakarta, Ade Mirza Kurniawan Hakim di PTUN Samarinda dan Yoes Hartyarso Hakim di PN Surabaya. Sebelum dimutasi ke Surabaya, Hakim Yoes bertugas di PN Samarinda.
Pangkal masalah karena ketiga hakim itu dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum yakni pemalsuan dalam perkara sebelumnya. Hanry dkk merasa dirugikan. Karena itu, mereka menggugat secara personal atau perbuatan pribadi oknum hakim- hakim tersebut
Gugatan itu bergulir di PN Samarinda. Dua hakim yang turut mengadili yakni Rakhmad dan Nyoto. Namun, Hanry dkk menuding keduanya memiliki kepentingan dengan para hakim yang digugat karena telah terindikasi oleh mereka
*TUDING ADA KONFLIK KEPENTINGAN*
Hanry melandasi tudingannya, ketika mendengar pernyataan Hakim Rakhmad yang mengadili perkara itu menyatakan bahwa hakim yang digugat adalah rekannya dalam melaksanakan tugas hakim
Pernyataan itu disampaikan Rakhmad saat sidang perkara Nomor 118/Pdt.G/2022/PN Smr digelar beberapa waktu lalu di PN Samarinda.
“Itu fakta persidangan. Hakim Rakhmad menyampaikan hakim yang kami gugat adalah rekannya dalam menjalankan tugas hakim, dan Itu dia sampaikan dihadapan kami para pihak saat sidang,” kata Hanry.
Bagi Hanry, pernyataan itu memiliki konflik kepentingan sebagai sesama rekan hakim. Selain itu, pernyataan itu mencerminkan sentimen pribadi dan tidak relevan dengan pokok perkara sehingga tak pantas jika diungkapkan oleh hakim yang mengadili.
Atas dasar itulah, pihaknya mengusulkan Hakim Rakhmad berikut hakim nyoto yang juga pernah mengadili perkara nomor 251/Pdt.G/2021/PN.Smr diganti melalui permohonan hak ingkar. Namun, usulan tersebut ditolak Ketua PN Samarinda.
“Padahal, dasar hukum permohonan hak ingkar kami jelas berlandaskan UU,” tegas Hanry.
Hanry menjelaskan, berdasarkan Pasal 17 Ayat 5 dan 6 Undang- Undang Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur hal tersebut secara rigid.
Ayat 5, misalnya, berbunyi bahwa seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan para pihak yang berperkara.
Selanjutnya, Ayat 6 menyebutkan, dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
“Dua ayat itu cukup kuat mewakili hak ingkar kami diakomodasi. Harusnya Ketua PN Samarinda wajib menegur dan mengganti hakim yang diminta mundur,” kata Hanry.
“Bukan menghalangi-halangi hak para pihak dengan menolak. Apalagi memberi penilaian bahwa alasan kami tidak cukup kuat. Saya pikir itu sudah diluar kewenangannya dan melanggar hukum,” sambung dia.
*BERI WAKTU 3 HARI*
Hanry dkk memberi waktu 3 hari kerja kepada Ketua PN Samarinda Darius Naftali untuk menjawab somasi tersebut.
“Jika sampai batas tersebut Darius Naftali baik dalam kapasitasnya sebagai Ketua PN Samarinda maupun sebagai pribadi tidak menanggapi surat somasi kami dan tidak melaporkan tudingan kami ke pihak kepolisian, maka saudara Darius Naftali kami anggap mengakui dirinya adalah oknum dan mengamini narasi dalam surat somasi kami,” terang Hanry.
Sementara itu, penggugat lain, Abdul Rahim juga menyayangkan sikap Ketua PN Samarinda yang menolak hak ingkar para pihak. Padahal, sebagai pengugat pihaknya telah mengunakan hak ingkar secara konstitusional.
Oleh karena itu, menurut Rahim, keputusan Ketua PN Samarinda menolak hak ingkar dianggap sebagai sesat pikir dan melawan hukum publik.
“Sehingga kesesatan tersebut membuktikan jabatan Ketua PN Samarinda telah disalahgunakan oleh Darius Naftali dalam kapasitasnya sebagai pribadi,” sebut Rahim.
Untuk itu, Rahim meminta kepada Darius Naftali agar tidak memaksakan kehendak dan melawan hukum.
“Jika beliau tidak menanggapi tudingan kami berupa pelaporan ke pihak kepolisian, maka beliau telah mengakui tudingan kami, begitu aja sederhana,” pungkas dia. (Jum)