GRATIFIKASI, MENGAPA DILARANG DAN DIANGGAP KORUPSI

GRATIFIKASI, MENGAPA DILARANG DAN DIANGGAP KORUPSI I Teras Media
Foto : Istimewa

TerasMedia.co | Bahaya laten korupsi itu bernama gratifikasi. Gratifikasi tidak terlarang dengan sendirinya, namun perlu dikendalikan. Ada dua syarat gratifikasi dilarang sehingga dapat menjadi korupsi. Gratifikasi dapat muncul dengan wajah yang manis, namun perlahan menggerus integritas seseorang hingga habis. Maka dari itu sangat penting bagi semua orang, terutama pegawai negeri atau penyelenggara negara, untuk memahami pengertian gratifikasi.

Indonesia telah mengatur gratifikasi dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”.

Dalam UU tersebut di Pasal 12B menyebutkan, bahwa gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Tidak main-main, penerima gratifikasi diancam hukuman penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Bacaan Lainnya

Gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat memicu konflik kepentingan yang memengaruhi kerja dan keputusannya dalam kebijakan serta pelayanan publik. Mengutip sosiolog ternama Jerman, Max Weber, birokrat adalah mesin yang memisahkan dirinya antara kepentingan pribadi dan pekerjaan sebagai abdi negara. Dengan menerima gratifikasi untuk keuntungan pribadi, maka birokrat telah menyalahi fungsinya.

Di beberapa negara gaji pegawai negeri memang sangat kecil sehingga menjadi pembenaran menerima suap dan gratifikasi, namun itu seharusnya tidak menjadi alasan. Dalam konsep birokrasi Weber, pegawai negeri adalah abdi negara yang menerima gaji dari pajak rakyat untuk melaksanakan tugas dalam pelayanan publik. Sehingga, mereka seharusnya tidak boleh menerima manfaat lainnya dari luar dalam melakukan pekerjaannya.

Beda Tipis Hadiah dan Gratifikasi yang Terlarang

Hadiah dan gratifikasi yang dilarang terkadang beda tipis. Namun jika menyangkut pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka bisa dicurigai pemberian tersebut adalah gratifikasi.

Professor Kebijakan Publik di University of Adelaide, Australia, Adam Graycar, dalam jurnalnya “Gift Giving and Corruption” menuliskan walau hadiah dan gratifikasi terhadap pegawai negeri terkadang samar, namun sifat keduanya sebenarnya sama. Dari sisi antropologi kemasyarakatan, Graycar mengatakan hadiah dan gratifikasi yang dilarang sama-sama punya tiga sifat, yaitu memicu timbal balik (resiprokal), menuntut proses pertukaran, dan saling berbalas (quid pro quo).

Dalam kehidupan sehari-hari Graycar memberikan contoh, ketika tetangga kita sibuk, maka kita akan membantunya menjemput anak-anak mereka di sekolah. Karena merasa berutang budi, maka tetangga itu mengajak jalan-jalan anjing kita ketika kita lembur. Dari contoh ini, hadiah tidak selalu berbentuk materi, bisa juga jasa.

Memang terkadang tidak ada tuntutan membalas dari pemberi hadiah. Namun para ahli antropologi meyakini pemberian hadiah selalu memicu rasa berutang budi atau kewajiban untuk membalasnya. Secara psikologis, mereka yang tidak mampu membalas budi akan merasa rendah diri dan akan selalu mencari cara untuk membayarnya.

Perasaan berutang budi ini tidak melulu tergantung dari besar kecilnya pemberian. Semakin besar pemberian, tentu saja perasaan berutangnya semakin besar pula. Tapi pemberian yang kecil namun terus menerus tetap akan menimbulkan perasaan tidak enak jika tidak membalasnya.

Hal ini dibuktikan dalam studi di New York pada 2011 yang dikutip Graycar. Gratifikasi terhadap pegawai negeri di New York dalam bentuk kurang dari satu dolar, seperti secangkir kopi, roti isi, atau bunga, telah memberi kerusakan yang besar. Kerusakan itu berupa hancurnya reputasi pemerintah kota, hilangnya kepercayaan masyarakat, dan menurunnya kinerja pegawai pemerintahan.

Kondisi ini juga bisa berlaku di Indonesia dan kadang dalam bentuk yang terselubung. Sugiarto, Fungsional Madya Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK, mengatakan gratifikasi bisa muncul dalam bentuk yang samar, seperti hadiah ulang tahun, pernikahan, atau uang duka cita terhadap pengawai negeri atau penyelenggara negara.

Penerima gratifikasi awalnya selalu berprasangka baik atas pemberian tersebut. Namun lama kelamaan, hadiah-hadiah ini kemudian dapat memengaruhi dirinya. Makanya, tidak jarang pejabat terjerumus korupsi karena ketidaktahuan bahwa dia telah menerima gratifikasi.

“Berasal dari pertemanan, kedekatan, dan pemberian-pemberian hadiah. Hal ini yang mengikis secara pelan-pelan integritas seseorang. Sedikit demi sedikit orang tersebut menjadi tidak independen lagi,” kata Sugiarto kepada ACLC.

Gratifikasi Akar dari Korupsi

Sugiarto mengatakan setidaknya ada empat alasan mengapa gratifikasi dilarang oleh negara. Alasan pertama adalah karena gratifikasi adalah akar dari korupsi. Pejabat kerap dihadapkan pada dilema integritas ketika menghadapi pemberian hadiah. Mereka yang integritasnya lemah dan kerap menerima hadiah, kata Sugiarto, akan ketagihan dan menuntut lebih sehingga berujung kepada pemerasan.

“Dia juga akan jadi permisif dengan memberikan kelonggaran dan kemudahan. Jika dia punya kewenangan, akan berpotensi melakukan praktik suap,” kata Sugiarto.

Alasan kedua, gratifikasi dekat dengan korupsi (Berdasarkan Lembaga Demografi Universitas Indonesia). Jika tidak hati-hati, pegawai negeri yang menerima gratifikasi bisa terseret peristiwa pidana. Misalnya, dia diberikan hadiah oleh seorang kontraktor pembangun jembatan yang ambruk. Dalam penyelidikan, pegawai negeri tersebut dianggap terlibat karena menerima gratifikasi.

Alasan ketiga, gratifikasi secara tidak sadar menimbulkan konflik kepentingan. “Misalnya ada dua calon pemenang tender yang nilainya sama. Namun karena salah satunya orang dekat dan sering memberi, maka akan dipermudah,” kata Sugiarto.

Alasan keempat, gratifikasi adalah korupsi itu sendiri. Gratifikasi yang terkait jabatan dan berlawanan dengan tugas akan dianggap suap dan menjadi delik korupsi Pasal 12 B dalam UU Pemberantasan Tipikor, jika tidak dilaporkan kepada KPK atau Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) di instansinya paling lambat 30 hari kerja sejak diterimanya. Mekanisme pelaporan ini tercantum dalam UU Pemberantasan Tipikor Pasal 12 C.

“Jika tidak enak menolak pemberian atau tidak tahu apakah ini gratifikasi terlarang atau bukan, maka terima saja lalu laporkan ke KPK. Nanti KPK yang akan menilai apakah hadiah itu boleh dimiliki, atau disita negara,” kata Sugiarto.

Langkah pelaporan ini juga senada dengan penelitian Graycar yang menyebutkan bahwa kunci untuk mencegah dampak buruk korupsi adalah “terbuka dan transparan terhadap semua pemberian”. Jadi, pegawai negeri atau penyelenggara negara sudah sepatutnya mewaspadai pemberian terhadap dirinya, baik besar ataupun kecil.

(aclc.kpk.go.id)

Ikuti kami di Google News

Pos terkait