Gumilang,Mu’tazilah dan Kalamullah

Gumilang,Mu'tazilah dan Kalamullah I Teras Media

Gumilang, Mu’tazilah, dan Kalamullah
Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq

TerasMedia.co, Belakangan ini kita dibuat heboh. Kehebohan yang dipicu oleh sosok fenomenal bernama Panji Gumilang. Dia merupakan pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun, yang terletak di Indaramayu Jawa Barat. Menjadi heboh karena ada dugaan bahwa Panji Gumilang dan atau Al Zaytun sesat. Sesat karena dianggap menyimpang dari pakem keberagamaan yang umum dipahami oleh mayoritas umat Islam di negeri ini.

Dari informasi yang beredar, ada 12 alasan mengapa Panji Gumilang dianggap sesat. Satu diantaranya adalah karena dia berpendapat bahwa kitab suci Al-Qur’an bukan kalamullah. Umat Islam kemudian memaknai bahwa bila dianggap demikian, maka kitab suci “dituduh” sebagai buatan atau ciptaan Rosulullah SAW. Rosulullah SAW adalah manusia biasa yang baru. Dengan asumsi begitu maka “buatannya” juga baru. Sementara selama ini kita yakin, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah. Firman Allah SWT yang melekat dengan Allah SWT. Karenanya qidam.

Bacaan Lainnya

Tulisan ini tidak hendak melakukan pembelaan terhadap pihak manapun. Hanya ingin mengajak untuk berdiskusi dan bercurah-pemikiran. Dengan harapan mendapat respon dalam bentuk curah-pemikiran juga. Sehingga terbangun dialektika. Bukan hanya berhenti di sebatas debat kusir. Lalu menyemat stigma. Karena itu tidak produktif. Apalagi disini. Di group ini. Tempat berkumpulnya para cendekiawan muslim dengan beragam latar keilmuan. Kita mulai!

Mu’tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam, yang menggunakan pemikiran rasional untuk menjelaskan masalah ketuhanan. Secara epistemologi pemikiran rasional Mu’tazilah terpengaruh oleh pemikiran filsafat. Mu’tazilah menggunakan metoda berfikir filsafat untuk menjelaskan dan menetapkan persoalan ketuhanan.

Aliran Mu’tazilah muncul di Basrah, Irak, pada abad kedua Hijriyah. Kemunculannya bermula ketika Wasil bin Atha (700-750 M) memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Hasan al-Bashri berpendapat mukmin yang melakukan dosa besar masih berstatus mukmin. Sementara Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim yang berdosa besar bukanlah mukmin tapi juga bukan kafir.

Lima ajaran Mu’tazilah yang terkenal adalah tauhid atau keesaan Allah, al-adl atau keadilan Allah, al-wa’du wal wa’id atau janji dan ancaman, almanzilah bainal manzilatain atau posisi antara dua posisi, dan amar ma’ruf nahi mungkar atau menyuruh berbuat kebaikan dan melarang segala kemungkaran. Seseorang belum bisa diakui sebagai anggota Mu’tazilah kecuali jika sudah mengakui dan menerima lima dasar ajaran Mu’tazilah tersebut.

Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan suatu perkataan yang terdiri dari huruf dan suara. Maksudnya, disamakan dengan perkataaan makhluk didalam kesehariannya. Karenanya, jika Al-Qur’an itu hanya terdiri dari perkataan yang baru diucapkan, maka Al-Qur’an itu sifatnya adalah baru. Oleh karena itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an itu bukan kalamullah. Bukan firman Allah.

Pendapat seperti itu sudah dilontarkan oleh Mu’tazilah lebih dari 1.200 tahun yang lalu. Sudah 12 abad. Sudah lama. Jadi, pendapat apakah Al-Qur’an itu kalamullah atau bukan -dalam hal ini makhluk- sejatinya sudah lama mencuat dalam perdebatan dan dialektika dalam khazanah keilmuan Islam. Sebuah pendapat biasa saja yang mestinya dan faktanya bisa direspon dengan cara biasa saja. Tidak sampai pada saling sesat dan meneyesatkan.

Ahlussunah Wal Jamaah memiliki pendapat berbeda tentang itu. Menurut Aswaja, Al-Qur’an itu kalamullah dan dia bukan makhluk. Makanya disebut sebagai firman Allah SWT. Dua cara pandang yang berbeda ini sejatinya cukup dalam level perdebatan, dan tidak mesti disertai dengan saling menyesatkan. Karena masing-masing memiliki alasan dan argumentasi, juga dalil.

Ada banyak paham, aliran, dan golongan dalam Islam. Bahkan, sebuah hadits meriwayatkan bahwa Rosulullah SAW pernah memprediksi bahwa umatnya akan terbagi pada 73 kelompok. Tambahnya, hanya 1 kelompok yang masuk golongan selamat. Beliau tidak menyebutkan kelompok mana yang dimaksud sebagai kelompok yang 1 itu.

Gara-gara hadits ini -walaupun satu riwayat menyatakan bahwa hadits ini maudhu- akhirnya tiap kelompok mengklaim sebagai kelompok yang dimaksud 1 oleh Nabi itu. Aswaja mengaku itu dirinya. Syiah mengaku juga demikian. Khawarij pun tak ketinggalan. Ahmadiyah juga mengklaim. Pun Mu’tazilah. Dan masih puluhan lagi golongan lainnya yang memproklamirkan sebagai golongan yang selamat.

Klaim dan pengakuan semacam itu tidak berhenti disitu. Masing-masing golongan menyertainya dengan tuduhan bahwa karena merasa kelompoknya adalah golongan sebagaimana dimaksudkan oleh Nabi, diluar dirinya dianggap sesat dan menyesatkan. Seperti halnya Aswaja yang mayoritas di negeri ini yang menuduh Ahmadiyah dan Syiah yang minoritas sebagai kelompok sesat.

Penyerangan dalam bentuk kekerasan fisik seperti yang menimpa golongan Syiah di Sampang Madura misalnya. Atau tragedi Cikeusik Pandeglang beberapa waktu lalu ketika sekelompok orang melakukan penyerbuan terhadap komunitas Ahmadiyah yang sampai menimbulkan korban jiwa. Tragedi ini sejatinya tidak mesti terjadi bila masing-masing golongan tidak saling klaim, dan yang lebih penting, tidak saling tuduh bahwa diluar golongannya adalah sesat.

Bila karena berbeda cara pandang pemikiran atas sebuah perkara lantas meresponnya dengan aksi unjuk rasa, demo, kekerasan fisik, bahkan peenghilangan nyawa orang, tersebab tidak cocok, tidak pas, dan tidak terima, lalu menyematkan stigma sesat atasnya, dan karenanya mesti ditutup bahkan ditumpas, kita sudah bisa menakar manakala otot berhadapan dengan otak, pihak mana yang menjadi pecundang.

Wasil bin Atha sudah hampir 12 abad lalu mengatakan demikian, bahwa Al-Qur’an itu bukan kalamullah. Pendapatnya kemudian memantik diskursus diantara kalangan umat Islam di negeri ini, khususnya kaum cendekiawan. Termasuk oleh saya dan kawan-kawan ketika kami mengupasnya di Jurusan Aqidah Filsafat IAIN SGD Bandung 3 dekade lalu, 30 tahun lalu.

Argumentasi dihadapi dengan argumentasi. Melahirkan dialektika yang tidak hanya berhenti di sebatas debat kusir. Diskusi dan kajian atas pemikiran seperti ini telah menghasilkan ribuan karya ilmiah, yang kemudian mewujud menjadi ilmu pengetahuan dan referensi yang dijadikan banyak rujukan. Tradisi begini biasanya bisa kita temukan di Fakultas Ushuluddin pada perguruan tinggi Islam.

Panji Gumilang baru kemarin mengatakan dan berpendapat hal yang sama. Dia mengatakan bahwa Al-Qur’an itu bukan kalamullah. Sebagian dari kita langsung heboh. Lalu dengan enteng bermodal patakul-ceunah menyematkan stigma sesat. Padahal, Majelis Ulama Indonesia atau MUI sendiri, baru berani berpendapat bahwa kesesatan Panji Gumilang dan atau Al Zaytun baru sebatas “indikasi”.

MUI yang terdiri dari orang-orang cerdas dan berpengetahuan tinggi, luas, serta dalam, dengan latar belakang keilmuan yang beragam, begitu bijak dan hati-hati dalam mengeluarkan sebuah keputusan. Kita yang hanya mendapat sepotong cuplikan dan informasi dari Tik Tok dan WhatsApp Group, sudah jauh melangkah didepan mereka. Kita begitu enteng mencap mereka yang berbeda dengan kita dengan stigma sesat. Lalu, karenanya mesti ditumpas.

Kita, kebetulan lahir disini, di Indonesia, yang umat Islamnya mayoritas pengikut Aswaja. Karenanya, kita meyakini kebenarannya. Maka, cukup disitu. Tak perlu menyempurnakannya dengan menuduh diluar kita itu sesat. Bayangkan, andai kita lahir di Iran, yang mayoritas pengikut Syiah. Pastinya, kita akan meyakini kebenarannya. Bila pun itu terjadi, maka cukup juga sampai situ. Tak perlu melengkapinya dengan menuduh bahwa diluar Syiah adalah sesat.

Katanya, Islam agama rahmatan lil alamin. Tapi bila ke-73 golongan dalam Islam saling mengklaim bahwa masing-masing merupakan kelompok yang satu dan benar, sembari saling menuduh bahwa golongan lain itu sesat, lalu saling serang, saling bantai, saling menumpahkan darah, saling bunuh, maka dimana letak rahmatan lil alaminnya?

Saran, atas sebuah perbedaan, mari kita saling menghargai dan menghormati. Perbedaan bukan hanya sebatas pendapat atau golongan. Bahkan perbedaan etnis, budaya, dan iman sekalipun, kita sebaiknya saling menghargai dan menghormati. Perbedaan merupakan hukum alam atau sunatullah, yang merupakan bagian dari skenario yang Allah SWT ciptakan sendiri.

“Wahai manusia, sesungguhnya Aku ciptakan kalian dari seorang lelaki dan perempuan, kemudian Aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku, tiada lain adalah untuk saling mengenal”. Demikian firmanNya. Karenanya, mari kita saling mengenal, dengan cara saling menghormati dan menghargai atas adanya perbedaan. Saling mengenal walau beda pendapat, beda pemikiran, beda golongan, beda etnis, beda bangsa, bahkan beda agama dan keyakinan.

Saling mengenal juga bisa kita lakukan dengan cara sederhana. Seperti diskusi dan memperbanyak acara ngopi. Mari kita dikusi. Sambil ngopi!
***

Penulis adalah santri kampung

Ikuti kami di Google News

Pos terkait