Ketika Berbeda Dituduh Membela
_Ocit Abdurrosyid Siddiq
Dalam situasi dimana orang-orang sedang emosi, sedang marah, sedang ingin melakukan pembalasan, maka jangan sekali-kali anda menyampaikan pendapat dan atau narasi yang berbeda dengan mereka. Karena bisa jadi anda akan dianggap sebagai pembela dan menjadi bagian dari target sasaran itu.
Seperti halnya saat ini. Ketika warga muslim di Jalur Gaza Palestina dibombardir oleh Israel yang banyak menuai korban jiwa, termasuk perempuan, lansia, dan anak-anak, menimbulkan solidaritas umat Islam di seluruh dunia. Semua mengutuk tindakan Israel yang tidak berprikemanusiaan itu.
Bahkan bukan hanya umat Islam yang melakukan aksi protes terhadap Israel. Penduduk dunia di kota-kota besar serentak mengutuk Israel. Lebih-lebih umat Islam. Mereka melakukan unjuk-rasa sekaligus penggalangan dana untuk membantu warga muslim di Palestina.
Di kota-kota besar di Indonesia umat Islam dan non muslim serentak melakukan aksi unjuk-rasa. Hari ini aksi bela Palestina digelar di Monas Jakarta. Konon jumlah yang hadir mencapai ratusan ribu. Sebelumnya Sabtu kemarin di Kota Serang, ibukota Provinsi Banten, juga digelar aksi serupa.
Siapapun-entah muslim atau non muslim- pastinya merasa tersentuh ketika menyaksikan kebiadaban Israel terhadap muslim warga Jalur Gaza. Bukan hanya Hamas yang mereka sasar. Bahkan rumah sakit, sekolah, rumah ibadah, hingga tempat pengungsian pun menjadi sasaran tembak.
Korban jiwa berjatuhan. Informasi terakhir, sudah lebih dari 9 ribu warga Jalur Gaza yang meninggal dunia. Tak terhitung yang terluka. Mereka kekurangan bahan makanan, obat-obatan, dan tempat berlindung untuk menyelamatkan diri. Ini bukan lagi perang. Ini genosida. Israel memang biadab!
Dalam situasi solidaritas yang begitu tinggi, maka sekecil apapun respon seseorang yang berbeda dengan suasana kebatinan orang kebanyakan, bisa dipastikan akan menuai reaksi. Dia akan dijadikan sebagai lawan. “Tidak sama dengan kami, berarti anda tidak satu barisan dengan kami”. Demikian kira-kira.
Seperti halnya ketika ajakan untuk melakukan boikot atas produk barang dan jasa milik Israel dan Yahudi, sebagai wujud perlawanan. Ketika dipertanyakan perihal urgensi boikot yang malah bisa menjadi bumerang, bisa langsung dianggap sebagai pembela Israel.
Contoh lain adalah ketika ada informasi bahwa aksi bela Palestina di Kota Serang ternyata diwarnai oleh pengibaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI. Kelompok penunggang itu ternyata bukan hanya mengibarkan bendera HTI, tetapi juga meneriakan ajakan untuk menerapkan model khilafah.
Hal ini kemudian direspon oleh dua tokoh agama. Pertama Embay Mulya Syarif yang adalah Ketua Umum Pengurus Besar Mathlaul Anwar.
“Kelompok pengusung khilafah itu memanfaatkan aksi bela Palestina untuk mengkampanyekan negara khilafah. Hal itu terlihat jelas saat mereka melaksanakan aksi bela Palestina dengan meneriakkan khilafah dan mengibarkan bendera HTI”, demikian sebagaimana keterangan tertulisnya.
Kedua, respon dari Amas Tajudin, Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama Provinsi Banten. Menurutnya, “Aksi bela Palestina di Alun-alun Barat Kota Serang, yang diikuti oleh komponen pemuda, santri, dan masyarakat, tercoreng oleh oknum yang terpotret kamera membentangkan bendera HTI di atas bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia, bermakna dan mengecewakan ketulusan dan keikhlasan masyarakat Banten untuk Palestina”.
Respon kedua tokoh ini mendapatkan reaksi dari sebagian besar peserta aksi. Mereka mempertanyakan dasar dan alasan serta latar belakang mengapa kedua tokoh itu menyoal perkara bendera. Dalihnya, itu bukan bendera HTI, tetapi model bendera yang sudah dikenal sejak masa Rosulullah SAW.
Tak berhenti disitu. Tuduhan kemudian membuncah bahwa itu merupakan cipta kondisi yang bisa jadi didalangi oleh tangan-tangan intelejen. Lalu kemudian merembet mempertanyakan kadar solidaritas keduanya atas nasib warga Palestina di Jalur Gaza.
Saya tidak sedang melakukan pembelaan atas statement kedua tokoh itu. Karena saya sadar, apabila itu dilakukan, bisa dipastikan akan dianggap menjadi bagian dari keduanya. Dan lebih jauh dari itu, bahkan karena sekedar “mempertanyakan” saja, bisa dianggap berpihak kepada Israel.
By the way, bila bendera dengan kalimat tauhid itu adalah bentuk bendera yang sudah dikenal dan dipakai pada zaman Rosulullah SAW, lalu digunakan sebagai atribut aksi, bagi saya tidak soal. Tapi bila bendera itu menunjukkan representasi dari HTI, disitulah persoalannya.
Suka atau tidak, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melarang keberadaan HTI di Indonesia. Jadi bila HTI kembali menunjukkan jati-dirinya dengan benderanya di tengah aksi bela Palestina, disitulah letak salahnya. Secara organisasi HTI dilarang. Maka atribut yang menyertainya pun terlarang.
Melarang HTI dan benderanya, tidak lantas bermakna melarang apalagi memusuhi Islam. Itu merupakan dua hal yang berbeda. Apalagi dituduh tidak suka pada Islam. HTI itu organisasi politik. Islam itu agama. Bahwa bendera HTI itu bertuliskan kalimat tauhid, itu benar. Tapi bukan tidak suka pada kalimat tauhid.
Apalagi -kalau ini benar- sebagaimana disitir oleh Embay Mulya Syarif dalam keterangan persnya sebagaimana dikutip oleh portal media online ujaran.co bahwa selain mengibarkan bendera HTI, oknum peserta aksi bela Palestina itu juga meneriakkan khilafah.
Sekali lagi, memang beresiko apabila kita berbeda pendapat dan pemikiran dengan pendapat dan pemikiran mainstream. Kita bisa dianggap sebagai bagian dari mereka. Kita akan dituduh berpihak kepada lawan. Kita akan dipertanyakan kadar keberagamaan.
Padahal, setiap kali perbedaan cara pandang itu muncul, adalah dalam rangka agar kita bisa lebih jernih, proporsional, tidak terbawa emosi, tetap waras, dan selalu beralas pada logika dalam menyikapi persoalan. Kan, “jangan karena kamu tidak suka pada orang itu, lantas membuatmu tidak bisa adil pada orang itu”.
Menyaksikan muslim Palestina yang wafat, terluka, kurang makanan, tiada obat-obatan, tak ada tempat berlindung dari serangan Israel, pastinya kita turut prihatin. Sama prihatinnya dengan korban yang mengalami nasib yang sama di pihak Israel yang diserang Hamas.
Siapapun pelakunya, entah Hamas atau Israel, bila aksi brutalnya menimbulkan korban jiwa, adalah sama-sama tindakan tidak berprikemanusiaan. Jangan karena Hamas itu Islam lalu brutal hingga menimbulkan korban jiwa kemudian diapresiasi.
Namun ketika tindakan yang sama dilakukan oleh Israel, lantas menyoal dan mempertanyakan hak azasi. Narasi ini bukan sebagai sikap permisif atas kekerasan yang dilakukan oleh Israel terhadap muslim di Palestina. Sekali lagi saya tegaskan, saya turut mengutuk tindakan biadab kaum zionis itu.
Tapi kita harus adil, proporsional, dan tidak bersikap dengan menggunakan standar ganda. Standar ganda yang dimaksud ya itu tadi. Ketika korban jatuh di pihak Palestina dianggap sebagai perbuatan keji, saat korban jatuh di pihak Israel malah turut dan larut dalam selebrasi.
Akhir kata, semoga peperangan ini segera berakhir. Semoga Allah SWT memberikan pertolongan kepada umat Islam di Palestina dari kebiadaban kaum zionis ini. Semoga tidak ada lagi jatuh korban jiwa dari kedua belah pihak. Semoga kedamaian tercipta di muka bumi ini. Amin.
***
Penulis adalah Sekretaris Bidang Dakwah PB. Mathlaul Anwar