P2G Mengingatkan Guru Jangan Terjebak Politik Praktis Saat Pemilu

P2G Mengingatkan Guru Jangan Terjebak Politik Praktis Saat Pemilu I Teras Media
Keterangan foto : Para siswa-siswi sedang mengucapkan minal aidzin walfaidzin di ruangan kelas, Selasa (2/5/2023)

Terasmedia.co Jakarta – Perhimpunan Pendidikan dan Guru sebagai organisasi guru tingkat nasional meminta Pemerintah melakukan pembenahan perbaikan terhadap kualitas pendidikan di tanah air pascapandemi Covid-19. Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2023 harus dijadikan momentum merefleksikan berbagai kebijakan pendidikan baik pusat maupun daerah apakah sudah berdampak positif secara signifikan terhadap kualitas pendidikan, kualitas sumber daya manusia, perluasan akses pendidikan bagi anak-anak Indonesia di setiap daerah, termasuk kualitas dan kesejehteraan guru atau belum.

“Hardiknas 2023 hendaknya dipandang sebagai momen refleksi bersama atas semua kebijakan pendidikan di tanah air, pendidikan kita mau dibawa kemana? Apalagi Pemilu sudah di depan mata, nanti ganti pemerintah ganti kebijakan lagi,” kata Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G.

Ada tujuh catatan kritis dan reflektif P2G pada Hardiknas 2023:

Bacaan Lainnya

*Pertama*, P2G mendesak Kemdikbudristek serta seluruh pemerintah daerah provinsi, kota/kabupaten melakukan evaluasi secara komprehensif dan objektif terhadap seluruh Episode Merdeka Mengajar yang sudah masuk Episode ke-24 .

“Evaluasi Merdeka Mengajar episode satu sampai dua puluh empat sangat penting, mengingat tahun depan Pemilu dan pergantian pemerintahan. Kami pun menilai sejak dulu ganti menteri pasti ganti kebijakan, jadi tidak ada kontinuitas dalam membangun pendidikan dan guru nasional,” ucap Satriwan.

Jangan sampai hanya berganti merek kebijakan, tapi substansi sesungguhnya sama. Jangan sampai klaim perubahan inovasi pendidikan yang terjadi malah involusi pendidikan.

“Makanya P2G mendesak Kemdikbudristek menuntaskan Peta Jalan Pendidikan Nasional sebagai arah dan tujuan pembangunan pendidikan Indonesia jangka panjang. _Road map_ yang lahir dari pemikiran semua _stakeholders_ secara partisipatif, objektif, dan transparan,” lanjut Satriwan.

Jika pemerintahan Presiden Jokowi dapat melahirkan Peta Jalan Pendidikan Nasional ini akan menjadi warisan yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia.

*Kedua*, P2G mendesak komitmen dan profesionalitas Kemdikbudristek, Kemenag, Kemenpan RB, Kemenkeu, Kemendagri, BKN, dan seluruh pemda baik provinsi dan kota/kabupaten dalam melaksanakan perekrutan Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Persoalan Guru PPPK sekarang menjadi cermin buruk tata kelola guru di tanah air. Indonesia membutuhkan 1,3 juta guru ASN sampai 2024 tapi pemerintah malah merekrut ASN kontrak bernama PPPK. PPPK solusi kekurangan guru jangka pendek. Harusnya pemerintah rekrut guru PNS sebagai solusi jangka panjang. Alasan anggaran jumbo menjadi faktor utama Pemerintah tak lagi rekrut guru PNS. Padahal anggaran pendidikan dalam APBN pun mengalami kenaikan signifikan tiap tahunnya.

Pada 2023 alokasi anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 612 triliyun, naik 5,8 persen dari tahun 2022 sebesar 574,9 triliyun.

“Negara alami darurat kekurangan guru ASN, anggaran pendidikan besar pula 612 triliyun, tapi Pemerintah masih enggan merekrut guru PNS, sebuah ambivalensi dalam bersikap,” tegas Satriwan.

Maka jelas bahwa rekrutmen guru ASN PPPK tidak menjawab kebutuhan guru nasional, malah sebaliknya menyisakan persoalan berlarut-larut.

Seleksi guru PPPK sejak 2021 menyisakan ragam persoalan diantaranya: 1) Masih ada 62.645 guru PPPK Prioritas-1 (P-1) yang belum kunjung dapat formasi; 2) Sebanyak 3.043 guru P-1 yang kelulusannya dibatalkan sepihak oleh Kemdikbudristek; 3) Janji Mendikbudristek dan Menpan RB akan angkat 1 juta guru baru terealisasi 550 ribu itu pun PPPK; 4) Guru PPPK yang tak kunjung dibayar gajinya berbulan-bulan bahkan sampai 9 bulan seperti di Serang, Bandar Lampung, dan terbaru guru PPPK di Papua.

“P2G sangat menyangkan buruknya manajemen guru PPPK yang dilakukan pemerintah. Sangat tak masuk akal, guru sudah lulus tes tapi tak kunjung dapat formasi harus menunggu dua tahun lebih. Terus kok bisa yah guru ASN gajinya tak dibayar berbulan-bulan?”, tukas Satriwan.

Satriwan melanjutkan, P2G juga kecewa kepada Pemprov DKI Jakarta yang hanya memberi durasi kontrak guru PPPK hanya 1 tahun. Sedangkan provinsi lain justru mengeluarkan kontrak 5 tahun.

“Profesi Guru masih dipandang remeh oleh pemerintah saat ini. Guru mengabdi bertahun-tahun sebagai honorer, upah jauh di bawah UMK, diangkat jadi ASN tapi malah ga digaji berbulan-bulan. Harapan terjadinya perbaikan nasib malah sebaliknya,” cetus guru SMA ini.

P2G meminta komitmen Pemda membuat kontrak minimal 5 tahun bagi guru PPPK. P2G juga berharap Presiden atau kementerian terkait memberi sanksi tegas bagi pemda yang tidak mengusulkan jumlah formasi guru PPPK secara maksimal sesuai kebutuhan riil di daerah.

“Pemda yang tidak serius mengelola guru PPPK hendaknya disanksi tegas oleh Kemendagri termasuk dari aspek anggaran. Sehingga tak terulang lagi peristiwa memilukan dan memalukan, guru PPPK tak digaji seperti di Bandar Lampung, Serang, dan Papua,” pinta Satriwan.

*Ketiga*, P2G berharap Kemdikbudristek membuat regulasi khusus yang bersifat afirmatif terhadap penyelenggaraan Program Guru Penggerak bagi seluruh daerah yang masuk kategori 3T.

P2G mendapat laporan dari jaringan di daerah seperti dari Kabupaten Kepulauan Sangihe, bahwa guru di sana tidak dapat mengikuti Program Guru Penggerak (PGP) karena akses wilayah kepulauan yang sulit dari segi geografis, transportasi (laut) maupun akses internet. Kebijakan khusus dibuat untuk perluasan akses dan kesempatan bagi semua guru di seluruh wilayah Indonesia secara terbuka dan berkeadilan.

P2G mengapresiasi Kebijakan PGP Angkatan ke-5 dan 9 yang sudah memberikan afirmasi khusus bagi guru di daerah 3T tapi masih terbatas di 15 kota/kabupaten saja.

*Keempat*, Pemanfaatan teknologi pendidikan. Dalam Education Working Group (EDWG) G-20, Indonesia mengajukan pemanfaatan teknologi dalam pendidikan sebagai jalan keluar krisis dan masa pemulihan setelah Covid-19. Optimisme yang dibangun berbanding terbalik dengan keadaan dalam negeri.

_Learning Loss_ tetap terjadi pada anak di Indonesia meskipun kementerian dan berbagai Perusahaan Teknologi Edukasi (Edtech) dalam negeri bergandengan untuk mensukseskan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Menurut Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, bukannya mengembalikan pembelajaran yang hilang, data anak kita malah ditambang oleh Edtech.

“Human Right Watch (HRW) mencatat bahwa 164 Edtech di dunia melanggar privasi anak, termasuk di Indonesia. Selama pandemik Edtech justru melakukan praktik menambang data anak,” ungkap guru SMA ini.

Di sisi lain, guru menghadapi kesenjangan digital, surplus pelatihan, kelebihan beban administrasi yang dituntut oleh aplikasi dari kementerian serta tuntutan untuk membuat konten digital.

“Penambangan data juga terjadi pada guru. Beragam pelatihan digital serta kurikulum merdeka justru diinisiasi Edtech yang merasa lebih memahami kurikulum merdeka,” lanjut Iman.

Di Jakarta, Dinas Pendidikan bekerjasama dengan salah satu platform swasta yang mewajibkan guru, orang tua, siswa dan sekolah mengisi modul. Dalam modul tersebut sejumlah pertanyaan adalah data pribadi dan data lain yang bisa digunakan untuk memetakan prilaku seseorang (konsumen).

Belum lagi, karena ketidakmampuan kementerian membangun data awan _(cloud)_ yang berdaulat, kementerian membuat kebijakan akun belajar yang sebenarnya adalah paket layanan dari google yang bisa menyerap semua data dari dinas pendidikan, sekolah, siswa, guru bahkan aktivitas mereka.

Disisi lain, Platform Merdeka Mengajar (PMM) ala Kemdikbudristek telah menjadi produk layanan yang dikampanyekan sangat masif. Di lapangan guru-guru selalu ditekan sekolah, pengawas dan dinas pendidikan agar segera menginstal aplikasi tersebut. Bahkan dilakukan pengecekan oleh Dinas Pendidikan terhadap sekolah dan guru, sehingga terdata bagi guru yang tidak menginstal dan mengerjakan tumpukan tugas di dalamnya.

Sementara itu, aplikasi ini menjadi kurang berguna bagi guru yang tidak memiliki gawai memadai, dan di pelosok yang minim listrik dan nirkoneksi internet.

“Dulu guru dibebani administrasi, sekarang dibebani aplikasi. Ternyata aplikasi tidak menyederhanakan dan memudahkan tugas guru,” cetus Iman.

Sangat disayangkan apabila jumlah angka penginstal aplikasi ditargetkan sebagai capaian keberhasilan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) melalui PMM oleh Kemdikbudristek.

“Kami menilai beragam aplikasi dari kementerian tersebut belum menjawab janji efesiensi dalam digitalisasi pendidikan,” ungkap Iman yang juga mengisi modul aplikasi tersebut.

Masifnya penggunaan platform dalam pendidikan juga harus diantisipasi karena melahirkan _Artificial Intelligence_ (AI) yang dibuat dengan logaritma yang menguntungkan pembuatnya.

P2G meminta pemerintah perlu membuat protokol _AI for Education_ (AIED) seperti yang dilakukan di Uni Eropa. Berisi batasan etis, privasi, potensi lahirnya bias, dan pengutamaan hak yang berkeadilan dalam pendidikan.

“Kontrol AI dalam Pendidikan akan semakin besar. Protokol AIED harus segera dibuat pemerintah, agar sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, bukan tujuan komersil pembuat Platform,” tambah Iman.

*Kelima*, P2G mengapresiasi lahirnya UU Nomor Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama.

Sebenarnya di lingkungan sekolah sudah ada Permendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Sekolah tapi masih menjadi macan kertas. Sekolah pada umumnya tak melaksanakan regulasi ini.

Agar aturan di atas lebih implementatif di lapangan, P2G meminta Kemdikbudristek bersama-sama Kemenag, Kemendagri, Kemen PPPA, Kemenkominfo, dan Polri bersinergi membentuk _Task Force_ (Satuan Tugas Bersama) Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan.

“Gugus Tugas ini sangat urgen melakukan pembimbingan, pembinaan, pengawasan, monitoring, evaluasi terkait pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan,” kata Feriansyah, Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G.

Feriansyah melanjutkan, agar pendataan dan peengawasan kekerasan di satuan pendidikan berjalan simultan dan terintegrasi, P2G meminta Pemerintah (Kemendikbudristek, Kemen PPPA, Kemenag, dll) membuat sistem informasi data kekerasan anak di satuan pendidikan serta langkah penanggulangannya. Sistem informasi dan statistik dibuat secara berkelanjutan dan akurat dengan rincian kasus per kasus di daerah.

*Keenam*, merespon tahun 2023 ini adalah tahun politik menghadapi Pemilu 2024 nanti, P2G mendesak agar guru dan organisasi guru tidak terjebak kepada politik praktis apalagi membawa peserta didik, warga sekolah, madrasah, satuan pendidikan terjebak dalam kampanye politik praktis.

“Satuan pendidikan harus netral dan bersih dari politik elektoral seperti kampanye. Organisasi guru dan guru pada khususnya harus bersikap cerdas dan bijak dalam menghadapi tahun Pemilu,” lanjut Feriansyah.

“P2G juga mengimbau siapapun tidak boleh membawa atau mengklaim bahwa guru memilih Calon Presiden tertentu. Organisasi guru jangan mempolitisasi guru, memobilisasinya dalam kampanye menjadi _vote getter_ misalnya,” pinta Feriansyah.

P2G meminta organisasi guru yang jumlahnya puluhan untuk mengawasi kualitas proses Pemilu demi terwujudnya Pemilu yang LUBER dan JURDIL.

*Ketujuh*, P2G meminta Kemdikbudristek membuka kembali ruang dialog berkualitas dengan asas partisipasi yang bermakna dalam proses perancangan RUU SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.

P2G melihat pascaditolaknya RUU Sisdiknas, Kemdikbudristek tidak pernah lagi membuka ruang dialog kepada semua stakeholders pendidikan.

P2G sebenarnya mendukung revisi UU Sisdiknas yang lama, tetapi harus ada pelibatan semua pemangku kepentingan. Dan tidak merugikan hak-hak guru sebab UU Guru dan Dosen yang sekarang sedemikian ideal mengatur hak guru meskipun lemah dalam implementasi.

“P2G berharap adanya partisipasi yang bermakna. RUU Sisdiknas hendaknya lahir dari pikiran seluruh komponen bangsa untuk jangka panjang, bukan dari satu atau dua kelompok saja,” pungkas Feriansyah.

Ikuti kami di Google News