Terasmedia.co JAKARTA – Kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (CPO) memasuki babak baru. Dalam perkara dugaan korupsi tersebut mengarah ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menkoperek) Airlangga Hartanto.
Dugaan keterlibatan Airlangga Hartanto dalam perkara tersebut terkuak dalam diskusi bertema “Tindak Pidana Penyalahgunaan Wewenang Dalam Ekspor CPO Oleh Airlangga Hartarto” yang digelar Aliansi BEM Seluruh Indonesia, Senin (7/8/2023).
Pakar Hukum Universitas Trisakti (Usakti) Jakarta, Abdul Hajar Fickar mengatakan, semua pihak yang merugikan keuangan negara maka bisa dibawa ke pengadilan. Demikian juga keputusan yang menguntungkan beberapa pihak lain atau diri sendiri juga bisa menjadi pintu masuk untuk dipidanakan dan dibawa ke pengadilan.
“Dalam kasus ini ada seorang menteri yang menyalahgunakan kewenangan (dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah),” kata Abdul Hajar Fickar, Senin (7/8/2023)
Untuk mengusut kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah yang merugikan keuangan negara Rp6,47 triliun maka Kejaksaan Agung harus bekerja keras untuk mengungkap dan mengusut pihak – pihak menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Bukti – bukti harus dikumpulkan Kejaksaan Agung agar tidak kalah ketika seseorang menjadi tersangka mengajukan pra peradilan ke Pengadilan.
“Ketika jaksa yakin maka tidak ragu untik menetapkan tersangka. Karena para tersngka itu pada awalnya adalah saksi. Oleh karena itu harus ada supervisi oleh KPK agar Kejaksaan Agung lebih serius. Apalagi KPK bisa masuk ke segala sektor,” paparnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana UII, Prof. Dr. Mudzakkir mengatakan, hasil rapat terbatas (Ratas) pada tanggal 15 Maret 2022 yang dipimpin oleh Presiden Jokowi yang salah satu keputusannya meminta mencabut Harga Eceran (HET) minyak goreng. Kala itu Presiden Jokowi menginstruksikan/mewajibkan perusahaan pemasok ekspor (CPO) dari sebelumnya 20 persen menjadi 30 persen.
“Tetapi dalam Ratas tanggal 16 Maret 2022, dimana Menteri Perdagangan M Lutfi tidak hadir. Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perekonomian malah mencabut HET dan DMO,” ucapnya.
Lin Che Wei, selalu Staf Khusus Menkoperek Airlangga Hartarto ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Lin Che Wei juga sebagai konsultan perusahaan pengekspor CPO (Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musimass Group). Selalu pengekspor yang diuntungkan dari kebijakan Airlangga Hartarto yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musimass Group, sekarang telah ditetapkan tersangka.
“Dampak dari keputusan mencabut HET dan DMO telah merugikan, kebutuhan domestik dalam negeri dan sulit untuk mencari minyak goreng dan jika ada harganya mahal,” jelasnya.
Dari mencabut HET dan DMO, sambung Mudzakkir, juga timbul kesulitan masyarakat miskin untuk membeli minyak goreng karena terjadi kelangkaan. Selain itu Dari mencabut HET dan DMO juga menimbulkan keuangan negara (sudah terbukti dalam keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap). Imbas dari mencabut HET dan DMO, ada Keputusan Presiden untuk memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat untuk meningkatkan daya beli masyarakat terhadap minyak goreng.
“Pihak yang bertanggungjawab dalam kasus ini adalah Airlangga Hartarto, selalu Menko Perekonomian yang secara langsung mengambil keputusan, dalam Ratas 16 Maret 2022, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mencabut HET dan DMO,” jelasnya.
Selain itu, Staf Khusus Menko Perekonomian Lin Che Wei sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan merangkap sebagai konsultasi dari Wilmar Group, Permata Hijau Group, Musimass Group telah ditetapkan sebagai tersangka. Oleh karena itu yang bertanggungjawab, Airlangga Hartarto, Lin Che Wei, Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musimass Group.
“Tersangka selanjutnya menyusul setelah adanya analisis dan penyidikan yang lengkap,” paparnya.
Sementara itu pengamat hukum Andrean Saifudin mengatakan sangat dibutuhkan dukungan publik dalam kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah. Dukungan publik tersebut guna mengetahui aliran dana dugaan korupsi CPO kemana saja. Apalagi kerugian negara dari kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah juga mencapai Rp20 triliun.
“Di lain pihak, Kejagung juga harus semangat mengungkap siapa saja yang menerima aliran dana tersebut,” ujarnya.
Jadi, sambung Andrean, semua harus mengawal kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah agar ada penetapan tersangka lainnya, karena kerugian negara Rp20 triliun tidak mungkin hanya dilakukan oleh 5 tersangka yang saat ini telah ditetapkan. Oleh karena itu diperlukan komitmen untik pemberantasan korupsi. Karena dampak korupsi luar biasa, termasuk ibu – ibu yang membeli minyak goreng.
“Jadi kita harus mengawal, rekomendasi PPATK sangat penting,” ujarnya.