Simalakama Krpailitan di Indonesia, Begini Penyebabnya

Simalakama Krpailitan di Indonesia, Begini Penyebabnya

Setelah lebih 2 dekade Indonesia melaksanakan UU Kepailitan sebagai sebuah kesepakatan yang terjadi antara Pemerintah RI dengan IMF pasca Krisis tahun 1998, Hukum kepailitan di Indonesia mengalami problema hukum tersendiri yaitu mudahnya penjatuhan status pailit pada Debitur yang dimohonkan Kepailitan

Penulis : Dedy Adalah Mahasiswa Program Studi S3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Terasmedia.co Jakarta – Hukum kepailitan di Indonesia sebenarnya sudah tumbuh dan berkembang hidup didalam masyarakat Indonesia sejak lama, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa kepailitan telah tumbuh dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama sebelum ditandatanganinya kesepakatan Pemerintah RI dengan IMF sebagai jalan penyelamatan Indonesia dari krisis tahun 1998.

Bacaan Lainnya

Salah satu dari poin kesepakatan tersebut Indonesia harus memiliki UU tentang Kepailitan Nasional yang terkodifikasi dalam satu peraturan perundang-undangan yang khusus yang untuk pertama kali ditetapkan dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Kepailitan (UUK) pada tanggal 9 September 1998.
Dalam perkembangannya UU Nomor 4 tahun 1998 direvisi dengan UU Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) pada tanggal 18 Oktober 2004. UU ini disusun dengan menggunakan acuan US Bankruptcy yang dikenal sebagai UU Kepailitan USA.
Meskipun menggunakan US Bankruptcy tidak semua ketentuan dalam UU Kepailitan Amerika tersebut yang diterapkan di UU Nomor 37 tahun 2004, hal ini dimungkinkan karena pluralitas hukum merupakan hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan sebuah peraturan Perundang-undangan. Werner Menski dalam bukunya Perbandingan Hukum dalam Konteks Global hal 35 menyatakan bahwa Argumen-Argumen yang mengakui pluralitas bawaan dalam hukum diterima dengan baik dalam literatur perbandingan Hukum teoritis.
UU Nomor 37 tahun 2004 dikeluarkan sebagai penyempurnaan dari UU sebelumnya yaitu UU Nomor 4 tahun 1998. Dengan demikian perubahan ini diharapkan memberikan hasil yang lebih baik bagi pengaturan Hukum Kepailitan Indonesia. Untuk diperlukan acuan atau komparasi hukum yaitu UU kepailitan Amerika Serikat. Penyusunan UU yang dilakukan dengan Perbandingan Hukum ini menurut Peter de Cruz dalam Bukunya Perbandingan Sistem Hukum juga merupakan salah satu tujuan perbandingan Hukum yaitu sebagai bantuan untuk perubahan Hukum dalam hal ini adalah UU Kepailitan.

UU Nomor 37 tahun 2004 dalam prakteknya sangat mudah untuk mengajukan Kepailitan terhadap debitur yaitu sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat 1 dan 8 UU Nomor 37 tahun 2004. Yaitu :

Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Pembuktian secara Sederhana.

Kemudahan dalam mengajukan kepailitan ini ternyata memberikan dampak negatif bagi bisnis secara keseluruhan.

Kalau dikaji dari tujuan hukum kepailitan sebagai bagian hukum bisnis maka hukum kepailitan bertujuan untuk menjaga agar bisnis dapat berjalan dan berkembang dengan baik. UU Nomor 37 tahun 2004 sebenarnya bertujuan untuk menjamin kreditor untuk mendapatkan perlindungan terhadap investasi yang dikelola oleh debitor.

Hal ini ditujukan karena dalam bisnis salah satu faktor yang pokok untuk mengembangkan bisnis adalah Kapital. Dan untuk itu perlu dilindungi para investor agar bisnis dapat berjalan dengan baik. Tetapi penerapan kepailitan ini dapat juga dilakukan untuk membunuh saingan usaha karena mudahnya syarat pengajuan kepailitan yaitu pasal 2 ayat 1 dan 8 ayat 1 UU Nomor 37 tahun 2004 diatas. Karena hampir tidak ada usaha yang tidak memiliki utang sehingga hampir semua usaha atau para debitor dapat dipailitkan. Ruang hukum inilah yang dapat digunakan sebagai alat untuk membunuh saingan usaha.

Hal inilah yang sejatinya menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis karena kemudahan ini dapat digunakan sebagai cara persaingan usaha yang tidak sehat guna mematikan usaha para debitur. Hal ini terjadi dalam banyak kasus kepailitan yang mengguncang banyak perusahan besar yang berdampak pada ekonomi nasional secara meluas. Yang pada akhirnya menguncang stabilitas ekonomi negara.

Berbagai perkara kepailitan memberikan dampak efek domino yang besar bahkan global seperti kepailitan Manulife, Kresna Life dan lain-lain. Efek domino ini menggangu banyak hal termasuk hubungan bisnis global.
Jika kita lihat dalam UU Nomor 37 tahun 2004 tidak diberikannya batasan insolvensi dalam penjatuhan status pailit sebagaimana dalam Chapter XI US Bankruptcy.

Limitasi ini diperlukan untuk menjamin Debitur yang harus dinyatakan pailit atau tidak. Hal ini agar tujuan dari hukum kepailitan yaitu menjaga dan menumbuh kembangkan bisinis dengan baik dapat dicapai bukan menjadi hambatan dalam dunia bisnis.
Jadi dalam kepailitan perlu ditambahkan persyaratan dalam memberikan status kepailitan yaitu Kemampuan dari Debitur yang dikenal dengan insolvensi.

Jadi Kepailtan harus menjamin adanya pemisahan antara Debitur yang masih mungkin membayar dan yang secara nyata tidak membayar. Jadi Hukum Kepailitan harus secara utuh memang menjadi cara untuk menagih hutang bagi para kreditur bukan alat yang digunakan untuk mematikan usaha debitur.

Ikuti kami di Google News