Terasmedia.co BANDUNG – Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat R. Andika Dwi Prasetya didampingi Kepala Divisi Administrasi Anggiat Ferdinan, Kepala Divisi Keimigrasian Yayan, Kepala Bidang Hukum Lina Kurniasari, Kepala Bidang HAM Hasbulah dan Kepala Subbidang Penyuluhan, Bantuan Hukum dan JDIH Zaki Fauzi Ridwan ikuti Opini Kebijakan Publik yang bertema “Pemenuhan Hak WBP dalam Mendapatkan Layanan Kesehatan Mental di Lapas”. Pada hari ini, Rabu (08/03/23) yang bertempat di Ruang Saharjo.
Kegiatan dilaksakan secara terpusat di Aula Kantor Wilayah Kemenkumham Jateng dan disebarluaskan melalui aplikasi Zoom dan media Youtube agar dapat dijangkau oleh masyarakat.
Peserta terdiri dari seluruh Kepala Kantor Wilayah, Mahasiswa, LSM, Para Stakeholder, Pembimbing Kemasyarakatan, Penyuluh Hukum, OBH, Narasumber Analis Kebijakan Pertama Balitbangkumham Chintia Octenta, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang Rodiyah Tangwun, Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Wilayah Jateng Gones Saptowati dan dimoderatori oleh Neyza Rosalia.
Diawali dengan laporan pembuka dari Kepala Kanwil Kemenkumham Jateng Yuspahruddin. Dalam laporannya menjelaskan bahwa kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka pemanfaatan hasil analisis kebijakan Hukum dan HAM maka perlu dilakukan sosialisasi pada pemangku kepentingan agar dapat dimanfaatkan sebagai dasar hukum atau kebijakan maupun penyusunan peraturan perundang-undangan pusat maupun daerah. Di samping itu, untuk mengetahui isu actual dan relevan serta ruang refleksi berbagai pihak untuk melakukan kolaborasi kinerja di masa mendatang.
Opini kebijakan menghadirkan narasumber dari beberapa latar belakang yaitu analis kebijakan antar divisi, praktisi hingga politisi. Opini diharapkan dapat menghasilkan perspektif yang kaya dan mampu menciptakan unsur ilmiah di dalam masyarakat. Opini dengan tema “Pemenuhan Hak WBP dalam Mendapatkan Layanan Kesehatan Mental di Lapas” ini menjadi penting karena ada orang yang memerlukan kesehatan fisik itu menghadapinya tidak mudah sama halnya dengan orang yang memerlukan kesehatan mental. Ketika menghadapi orang yang sakit jiwa/mentalnya tidak sehat itu menjadi persoalan.
Dasar hukum dilaksanakannya kegiatan ini adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 44 Tahun 2016 tentang Pemanfaatan Hasil Penelitian dan Pengembangan di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 30 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Lebih lanjut, Plt. Kepala Balitbangkumham Iwan Kurniawan mengatakan bahwa Data yang disampaikan oleh kesehatan dunia atau organization di bawah PBB (WHO) 450 juta orang di dunia ini menderita gangguan mental. WHO juga menyampaikan sebuah data bahwa dari 4 orang, 1 orang itu berpotensi memiliki gangguan mental. seringkali kita melihat beberapa perilaku-perilaku yang aneh yang menyimpang yang tidak lazim dan tidak biasanya saya seringkali pendekatan-pendekatan terhadap perilaku warga binaan yang seperti itu itu lebih kepada pendekatan-pendekatan yang bersifat keamanan karena memang kita selalu mendapatkan warga binaan yang menunjukkan gejala-gejala demikian itu seringkali berpotensi terhadap timbulnya gangguan-gangguan keamanan Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan seringkali pendekatan-pendekatan keamanan berdasarkan beberapa data itu.
“Balitbang hukum dan HAM dalam melakukan analisis terhadap aturan atau kebijakan selalu berbasiskan bukti atau data yang kita miliki atau data yang tersedia yang berkaitan dengan tema yang akan kita lakukan analisis jadi dari bank kemudian mencoba melakukan sebuah Analisis terhadap kondisi itu ya dan menemukan beberapa data dan fakta yang bisa diungkap yang nanti akan disampaikan melalui opini yang menghadirkan 3 narasumber.” katanya.
Dan kemudian, melalui paparannya, Chintia Octenta menyampaikan rekomendasi kebijakan yang diantaranya yaitu melakukan pendataan komprehensif, terintegrasi dan dilaporkan secara rutin ke Ditjenpas, pengembangan program pembinaan kepribadian dengan memuat materi mental health awareness, mengikis stigma dan diskriminasi, intoleransi; melakukan telaahan dan evaluasi tugas dan fungsi wali pemasyarakatan dalam menangani WBP melalui riset kolaboratif; melakukan pemetaan kebutuhan skill dalam pelaksanaan layanan kesehatan mental di UPT Pas; dan membangun potensi kolaborasi bersama stakeholder terkait seperti RSUD, RSJ, Aparat Penegak Hukum, NGO dan lainnya.
Kemudian, dalam paparannya Gones Saptowati, sehat mental menurut WHO adalah kondisi kesejahteraan (well-being) seorang individu yang menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Dampak psikologis bagi WBP dalam menjalani sanksi pidana antara lain kehilangan personality, kehilangan keamanan, kehilangan kebebasan, kehilangan hubungan personal, kehilangan ketertarikan dengan lawan jenis, kehilangan prestasi/kemampuan, kehilangan kepercayaan dan kehilangan kreativitas. Dan rekomendasi upaya untuk mencegah hal tersebut adalah screening kesehatan mental secara berkala, pemberian layanan konseling sesuai kebutuhan, pemberian layanan terapi (psikoterapi dan atau famakoterapi) sesuai kebutuhan dan upaya preventif dengan pengelolaan mental emosional.
Lebih lanjut, Rodiyah Tangwun memaparkan materi tentang rekonstruksi pemenuhan Hak WBP dalam mendapatkan Kesehatan Mental di Lapas. Fakta dan terminologi kesehatan mental, paying hukum pelayanan kesehatan mental di Lapas. Ada beberapa fakta hukum yang harus disesuaikan dengan masyarakat. Banyak alas an yang menjadi pertimbangan narapidana melakukan bunuh diri yaitu depresi karena tidak dijenguk keluarga, penyalahgunaan narkoba, psikotik akut, setres, terlilit hutang, tidak ingin ditinggal bunuh diri dan istri, tidak kuat menahan malu, tidak tahan ditempatkan di sel isolasi, tidak terima dengan putusan hakim dan lainnya yang belum diketahui.
Rodiyah pun membeberkan indikator-indikator yang dapat menjadi acuan karakteristik kesehatan mental (standar WHO) yaitu bebas dari ketegangan dan kecemasan, menerima kekecewaan sebagai pelajaran di kemudian hari, dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan meskipun kenyataan itu pahit, dapat berhubungan dengan orang lain dan dapat tolong menolong yang memuaskan, merasa lebih puas memberi daripada menerima, dapat merasakan kepuasan dalam perjuangan hidup, menyelesaikan permusuhan dengan cara positif, kreatif dan konstruktif, mempunyai rasa kasih sayang dan butuh disayangi serta mempunyai spiritual/agama.
6 hal yang secara umum menjadi focus hak WBP dalam pemenuhan kesehatan mental yaitu aspek regulasi, aspek penganggaran, aspek SDM, sarana dan prasarana, aspek kerjasama dan aspek partisipasi publik dalam sinergitas.