Terasmedia.co – Dimasa-masa akhir pemerintahan Presiden Jokowi dihantui oleh perlambatan ekonomi yang serius. Situasi ekonomi ini bisa membuat masa akhir kepemimpinan sang presiden tidak soft landing.
Laporan dari Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia bahkan memproyeksikan perekonomian nasional berada di kisaran 4,97 persen hingga 5,01 persen. Angka itu lebih rendah dari realisasi pertumbuhan triwulan sebelumnya yang mencapai 5,11 persen.
Permasalahan itu sebenarnya dipicu oleh tingginya ketidak-pastian global dan berlanjutnya permasalahan struktural yang berdampak negatif terhadap per-tumbuhan Produk Domestik Bru- to (PDB). IMF memproyeksikan ekonomi global tumbuh 3,2 persen Yoy pada 2024, dibanding-kan dengan 3,3 persen Yoi pada tahun sebelumnya.
Yearoveryear (Yoi) adalah istilah untuk mem- bandingkan metrik dari satu tahun dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi AS tetap baik didorong permintaan domestik, sedangkan ekonomi Tiongkok belum kuat
dengan pertumbuhan triwulan II-2024 sebesar 4,7 persen YOY, seiring lemahnya permintaan domestik dan berlanjutnya tekanan sektor properti.
Demikian juga disampaikan Bank Dunia dalam Laporan Outlook Ekonomi Dunia edisi Januari 2024. Faktanya, Bank Dunia mem-perkirakan perekonomian global akan bertahan dari resesi. Selama paruh kedua dekade itu, perekonomian global akan mengalami per-tumbuhan terlemah sejak 1990-an.
Ada banyak penyebabnya. yang pa-ling mengejutkan adalah kebijakan moneter yang sangat ketat di negara-negara maju. Suku bunga yang sangat tinggi selama dua tahun terakhir membuat pinjaman untuk modal usaha dan konsumsi makin mahal. Selain itu, orang juga melihat peningkatan konflik di Timur Tengah, distorsi pasar bahan mentah, dan peningkatan beban utang swasta dan pemerintah di berbagai negara.
Itu juga Karena pemulihan ekonomi Tiongkok yang jauh lebih lemah dari perkiraan sebelumnya. Walaupun tam-pak menurun, inflasi masih sangat kuat dan persisten di banyak negara.
Ketika perekonomian global sedang terpuruk, kebijakan fiskal tentunya dapat menjadi kelemahan bagi negara-negara pengekspor komoditas.
Harga komoditas sela-lu berada dalam siklus kenaikan yang kuat. Ketika negara-negara pengekspor komoditas menikmati harga yang tinggi, mereka bia- sanya cenderung berpuas diri, ceroboh, dan melakukan pembelanjaan dengan sangat agresif.
Faktanya, banyak negara yang rela berutang dalam jumlah besar karena merasa kaya dan mampu membayarnya. Ciri-ciri itu hadir di Indonesia. Ketidakpastian ekonomi
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 29 November 2023 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melandai pada 2024.
Di sisi lain, OECD memperkirakan risiko terjadinya hard landing perekonomian global mereda meski tingkat utang ma-sih tinggi dan ketidakpastian suku bunga juga masih bertahan tinggi. Setelah melandai pada 2024, pada tahun 2025 ekonomi dunia diprediksi tumbuh 3,0 persen.
Tiongkok yang menjadi wilayah dengan perekonomian terbesar di Asia, diperkirakan melambat karena terus bergulat dengan gelembung real estat yang pecah dan rendahnya pengeluaran konsumen. Di zona Euro, pertumbuhan ekonomi diproyeksi meningkat karena Jerman sebagai pemegang ekonomi terbesar di Eropa mampukeluar dari resesi tahun ini.
Pemerintah perlu secara komprehensif menyusun kebijakan untuk memitigasi dampak perlambatan perekonomian global. Menjaga daya beli masyarakat dan bergairahnya iklim dunia usaha perlu dijaga dan ditingkatkan.
Upaya untuk meningkatkan target pajak sebesar 40,3 persen perlu tetap memperhatikan kon- disi perekonomian dunia dan domestik. Pada saat ini dunia usaha di dalam negeri justru sangat membutuhkan stimulus fiskal untuk terus berkembang dan tersela matkan dari dampak perlambatan ekonomi global dan regional.
Tren perlambatan perekonomian global
justru perlu direspons dengan kebijakan fi skal yang produnia usaha agar lapangan pekerjaan terus tersedia, pemanfaatan potensi ekonomi menjadi optimal, total output dan produksi nasional meningkat. Kecepatan dan ketepatan (governance) penyerapan anggaran ABPNP 2024 akan membantu perekonomian nasional untuk tetap berdaya tahan (resilience).
Sektor mulai dari jasa konstruksi, konsultan, besi dan baja, semen, produk-produk petrokimia sampai ke sektor pembiayaan dan jasa asuransi akan terdorong dengan adanya pengerjaan proyek- proyek pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
Sebaliknya, keterlambatan penyerapan anggaran dan pengerjaan proyek infrastruktur berarti akan mengurangi golden opportunity dalam menguatkan perekonomian nasional di tengah perlambatan ekonomi global. Mengingat pembentukan PDB mayoritas dikontribusi oleh konsumsi domestik, proritas nasional untuk menjaga daya beli masyarakat perlu menjadi fokus di tengah perlambatan perekonomian dunia.
Daya beli masyarakat dipengaruhi ketersediaan lapangan kerja dan harga kebutuhan pokok. Tidak kurang terdapat 65,4 juta unit usaha atau 99 persen bentuk usaha nasional adalah sektor UMKM yang 65,4 juta di antaranya adalah sektor mikro. Oleh karenanya menjadi makin penting bagi pemerintah pusat maupun daerah, untuk terus meningkatkan aksesibilitas keuangan, peningkatan kemampuan produksi, dan akses pasar bagi sektor UMKM.
Kebijakan alternatif Tidak perlu berkecil hati, Kementerian Keuangan mengungkapkan Realisasi Pendapatan Negara mencapai Rp1.320,7 triliun atau 47,1 persen dari target APBN 2024. Di sisi lain, realisasi Belanja Negara mencapai Rp1.398,0 triliun atau tumbuh 11,3 persen YOY, terutama dipengaruhi upaya untuk terus menopang berbagai agenda pembangunan, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan tetap menjaga kesejahteraan masyarakat.
Saat ini ada kebutuhan mendesak untuk kebijakan ekonomi countercyclical untuk melawan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, paket kebijakan ekonomi itu dapat mencegah perlambatan perekonomian nasional lebih lanjut di tengah perlambatan perekonomian regional dan global.
Caranya dengan menjaga daya beli masyarakat, mencegah gelombang PHK, insentif perpajakan untuk meningkatkan semangat industri dan dunia usaha, meningkatkan belanja pemerintah, meningkatkan gaji pegawai negeri, dan
fokus pada penguatan ketahanan
sektor UMKM.
Kebijakan untuk memitigasi dampak negatif tren pelemahan dunia usaha dan daya beli masyarakat harus segera dilaksanakan. Tantangan saat ini berbeda dengan krisis ekonomi pada 2011, Kedua krisis itu disebabkan gejolak eksternal akibat memburuknya kinerja perekonomian negara-negara maju, namun kini telah berubah seiring membaiknya perekonomian AS yang menyebabkan ketidakstabilan pasar keuangan dan likuiditas global.
Pemerintah perlu melibatkan komunitas bisnis untuk meningkatkan efektivitas pengembangan kebijakan yang mereka keluarkan. Banyak asosiasi industri seperti Kadin, Apindo, Hipmi dan Hippi harus diajak berkoordinasi untuk mengembangkan kebijakan yang paling tepat dan terukur.
Sejumlah langkah telah dilakukan, antara lain langkah untuk mengurangi tekanan infl asi melalui penyesuaian suku bunga, langkah untuk memperkuat ketahanan sistem perbankan, dan langkah untuk mencegah dampak global krisis terhadap kelancaran
fungsi sistem pembayaran nasional.
Pencegahan perlambatan ekonomi dicegah oleh BI untuk mencegah risiko sistemik dari krisis ekonomi global, serta memperkuat ketahanan ekonomi.