Dosen Paramadina Sebut Demokrasi Harus Ciptakan Meritokrasi Bukan Privilese, Ini Alasannya

Dosen Paramadina Sebut Demokrasi Harus Ciptakan Meritokrasi Bukan Privilese, Ini Alasannya I Teras Media
Keterangan foto : Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina Erik Ardiyanto, Sabtu (25/11/2023)
Ikuti kami di Google News

Terasmedia.co Jakarta – Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina Erik Ardiyanto mendorong sistem meritokrasi di Indonesia agar para pejabat pemerintah diisi oleh orang-orang yang berprestasi, bukan hanya karena sekedar adanya pertalian darah. Kata Erik, setiap anak bangsa dari mana asalnya dan latar latar belakangnya berhak memilih dan dipilih dalam kontestasi tanpa adanya privilese atau Hak Istimewa.

“Demokrasi dan kepemiluan harus bisa menciptkan meritokrasi dimana setiap anak bangsa berhak memilih dan dipilih dalam kompetisi tanpa adanya privilese. Dengan mengikuti peraturan yang berlaku bukan sebaliknya menerabas perturan yang berlaku untuk berkuasa, ” kata Erik Ardiyanto saat diskusi publik yang diadakan oleh Kampus Universitas Paramadina tentang Literasi Media Berbasis Politik di Aula Nurcholish Madjid Jakarta, Sabtu (25/11/2023)

Lebih lanjut, Erik berharap marak political gimicks tidak menjadi glorifikasi yang berlebih oleh kandidat atau media. Alasanya, kata Erik karena bisa menghilangkan subtasi dalam kontestasi.

Bacaan Lainnya

“Tidak semua geneasi milenial atau gen Z terpengaruh political gimmicks mereka lebih suka ide – ide dan gagasan – gagasan besar yang kongkrit,” Ucap Erik menjelaskan.

Dijelaskan Erik, kebebasan berbicara, berpendapat dan berserikat juga diatur di dalamnya memungkikan anak bangsa bisa mengekpresikan dirinya tanpa adanya intervensi. Karena, kata Erik, startegi komunikasi politik hidup dalam alam demokrasi yang sejatinya harus bisa menjadi alat penerang agar kebijakan – kebijakan pemerintah dapat dipahami di masyarakat.

“Tetapi disaaat yang bersamaan dia bisa menjadi kritik ketika ada penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah karena dia juga berfungsi sebagai alat pembebasan,” tutur Erik.

Pada dasarnya, kata Erik, disinformasi dan ujaran kebencian nyaris tak terhindarkan, terutama di musim pemilu seperti sekarang ini. Oleh karena itu, kata Erik, tugas masyarakat sebagai pelaku, pengawas dan regulator politik serta media untuk bahu-membahu membentuk iklim komunikasi yang baik. Tujuanya agar tercipta pemilu dan peradaban yang arif dan bijaksana.

“Sebab, pada dasarnya media, pelaku politik, dan masyarakat nyaris tidak dapat dipisahkan. Masing-masing dari elemen tersebut akan saling mempengaruhi satu sama lain, dan pengaruh yang paling baik adalah literasi, meliterasi, dan terliterasi,” Ujar Erik.

Sementara itu, di tempat yang bersmaan Komisioner KPU RI Yulianto Sudarajat mengajak mahasiswa untuk berpatisipasi aktif dalam pemilu serentak pada 2024 mendatang. Yulianto merefleksi tentang ujaran kebencian dan hoax yang terjadi pada pemilu 2019.

“Saya memiliki catatan dalam pemilu sebelumnya jadi saya berharap kedepannya pemilu bisa berjalan lebih dewasa, ” ajak Yulianto

Dia menjelaskan bahwa dalam pemilu serentak 2024, KPU memiliki visi untuk mewujudkan pemilu yang adil untuk mensejahterakan rakyat dan menyatukan anak bangsa. Menurutnya segmentasi konstituen di Indonesia hari ini mayoritas anak muda, sehingga peran pemilih muda menjadi sangat signifikan dalam pemilu yang dapat menentukan postur pemilihan nasional.

“Literasi media menjadi alat refleksi dan alat baca anak muda ketika melakukan kegiatan di media sosial,” Beber Yulianto.

Untuk diketahui, Forum diskusi tersebut diadakann berkat bekerjasama dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan dihadiri oleh ratusan mahasiswa Ilmu Komunikasi se-Jabodetabek. (Dayat)