Terasme.dia.co JAKARTA – Advokat Muhammad Yuntri, SH, MH selaku kuasa pemohon Praperadilan, menggugat Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dan Rumah Tahanan (Rutan) Salemba. Hal itu terkait sah atau tidaknya perpanjangan penahanan yang dilakukan oleh Wakil Ketua PT Jakarta.
Persidangan Praperadilan tersebut dipimpin oleh Hakim Tunggal Achmad Rasyid Purba di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Kamis (13/3/2025).
Yuntri mengatakan, Praperadilan ini diajukannya untuk memeriksa apakah perpanjangan penahanan yang dilakukan oleh Wakil Ketua PT Jakarta sah atau ilegal, karena bertentangan dengan ketentuan KUHAP. Dalam kasus ini terdakwa, pada saat penyidikan tidak ditahan, baru ditahan saat P-21 oleh Jaksa Penuntut Umum di Rutan Salemba.
“Selama pemeriksaan persidangan, JPU menahannya 20 hari, diperpanjang oleh Hakim PN 30 hari, diperpanjang oleh Hakim PN 60 hari, dipepanjang pertama oleh Ketua PT DKI 30 hari, perpanjangan kedua oleh Ketua PT DKI 30 hari, Perpanjangan Ketiga oleh Ketua PT DKI 30 hari, dan perpanjangan ke empat oleh Wakil Ketua PT 60 hari,” ujar Yuntri seraya mengatakan hingga menimbulkan kejanggalannya.
Adapun kejanggalan ini ungkap Yuntri terkait tiga kali perpanjangan penahana oleh Ketua PT DKI dan perpanjangan ke empat oleh Wakil Ketua PT DKI. Padahal, sesuai ketentuan KUHAP masa penahanan terdakwa hanyalah 180 hari.
“Akan tetapi sampai saat ini Terdakwa sudah ditahan lebih 180 hari, yaitu 199 hari per hari ini. Inilah tujuan dilakukannya praperadilan ini,” ungkap Yuntri sembari bertanya, apakah penahanan terdakwa suatu kewajiban atau suatu kebutuhan.
“Kalau hanya kebutuhan, maka hal itu sudah selesai dilakukan pada saat penyidikan dan pemeriksaan perkara di Majelis Hakim PN. Semestinya Terdakwa dilepaskan dari tahanan dan minta jaminan dari keluarganya agar tidak melarikan diri atau mengulangi perbuatan itu lagi,” jelasnya.
Sedangkan jika dianggap suatu kewajiban, menurut Yuntri maka inilah penyebabnya penuhnya kapasitas rumah tahanan Negara /penjara. Bahkan ada Rutan yang kapasitas warga binaannya cuma 1.500 orang malah menampung sampai 3.000 orang hal itu sangat tidak manusiawi dan juga berdampak kepada Anggaran APBN.
Lebih lanjut Yuntri mengatakan praperadilan ini juga ditujukan untuk menguji agar Hakim atau institusi yang berwenang menahan terdakwa harus teliti akan ketentuan KUHAP yang mengatur tentang penahanan tersebut, bukan berarti bisa bertindak semena-mena terhadap diri terdakwa untuk menahannya tanpa dasar hukum yang jelas atau “Onvoldoende gemotiveerd,” tidak cukupnya pertimbangan hukum bagi hakim untuk menahan Terdakwa.
Selain itu kata Yuntri pihaknya akan melakukan uji materil di Mahkamah Konstitusi (MK) tentang subjek termohon praperadilan ini tidak hanya terhdap Penyidik Polri atau Jaksa Penuntut Umum melainkan bisa juga dilakukan terhadap Hakim atau institusi Pengadilan yang tidak punya dasar atau melanggar ketentuan KUHAP.
“Dengan demikian, dasar praperadilan itu diharapkan tidak saja menyangkut masalah salah tangkap, salah tahan, mengingat Locus dan tempos delicti. Melainkan terhadap status tersangka dan mestinya termasuk tidak sahnya perpanjangan penahanan oleh Hakim atau Institusi Pengadilan,” terangnya.
Untuk masalah praperadilan ini, ungkap Yuntri, semestinya hakim juga melakukan penemuan hukum baru (rechtvinding), mengingat hal ini terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM) pada diri Terdakwa, seperti halnya yang pernah dilakukan oleh hakim Sarpin Rizaldi pada tahun 2015 yang lalu, yaitu menjadikan status tersangka sebagai objek Praperadilan yang ternyata dikuatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan sampai saat ini dikenang jasanya oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Yuntri menambahkan, dengan rechtvinding ini akan bermakna bagi masyarakat bahwa hakim tunggal praperadilan itu tidak hanya bertugas secara rutinitas seperti biasa dalam memutus perkara sah tidaknya penangkapan, penangkapan atau salah prosedur ataupun salah Locus Delicti atau Tempos Delicti, melainkan betul-betul jeli dan teliti melihat fakta yang sebenarnya apakah semua tindakan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP UU No.8 tahun 1981 atau tidak.
“Jika ada yang tidak sesuai maka tindakan aparat penegak hukum haruslah dibatalkan dengan dibebaskannya tersangka atau terdakwa dari jeratan hukum baik itu diranah Kepolisian atau Kejaksaan,” terang Yuntri.
Sedangkan dalam perpanjangan penahanan oleh Wakil Ketua PT yang ke-4 kalinya dalam kasus ini adalah tidak benar, karena kewenangan Pengadilan Tnggi menurut ketentuan pasal 28 dan 29 KUHAP hanyalah 30 hari ditambah 60 hari, ucap Yuntri seraya melanjutkan, jadi perpanjangan penahanan yang ke-3 ataupun yang ke-4 haruslah ada alasan yang mendasarinya sesuai prosedur yang berlaku.
Untuk kasus ini, yang baru akan berproses di tingkat kasasi, semestinya kewenangan dari hakim Agung yang memperpanjang penahanan tersebut bukan lagi oleh wakil ketua pengadilan tinggi yang telah mencaplok kewenangan hakim Agung. Makanya tidakan ilegal perpanjangan penahanan klien nya oleh wakil ketua PT DKI itu haruskah dinyatakan tidak sah dan masuk kategori PMH dan sewenang-wenang.
Bahkan putusan banding dijatuhkan pada tanggal 4 Pebruari 2025, dan jangka waktu penahanan terdakwa juga jatuh pada tanggal 4 Pebruari 2025 juga. Akan tetapi kenapa wakil ketua PT DKI malah memperpanjang lagi masa pemahanan terdakwa dari tanggal 5 Pebruari 2025 sampai tanggal 4 April 2025 ?
Hal ini menjadi tanda tanya bagi masyarakat akan ketidak pastian hukum atas penetapan yang diterbitkan oleh wakil ketua PT DKI tersebut.
Tindakan ini telah mendapat atensi dari Badan Pengawas Hakim MA-RI yang meminta ketua PT DKI untuk mengklarifikasi tindakan bawahannya itu dan menyampaikan klarifikasinya dalam batas waktu 14 hari kepada badan KIMWAS MA-RI.
Sedangkan menurut Yuntri, mestinya Rumah Tahanan Negara juga harus teliti menerima perintah dari setiap Institusi yang memintanya untuk menempatkan Warga Binaan (Tahanan) di Rutan tersebut apakah sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP yang diatur oleh UU No.8 Tahun 1981, dan tidak hanya berpatokan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tahun 1987, dimana SEMA hanyalah bersifat internal di lingkungan peradilan, dan tidak masuk dalam hirarkhis peraturan Perundang-undangan di Indonesia berdasarkan UU No.12 tahun 2011, yang sangat jauh tingkatannya di banding ketentuan KUHAP yang berlaku sebagai UU yang mengikat seluruh bangsa Indonesia yang statusnya nomor dua setekah UUD’45.
Jadi dalam rechtvinding ini, Yuntri berharap penegak hukum hendaknya bertindak dengan slogan “Biasakan yang Benar dan Jangan Membenarkan Kebiasaan” yang mana hal tersebut belum tentu benar.
Dengan momentum praperadilan ini Yuntri berharap, agar semua Aparat Penegak Hukum mulai dari penyidik Kepolisian, Kejaksaan maupun Kehakiman dari seluruh tingkatan pertama, Banding sampai Kasasi hendaknya bekerja secara teliti dan profesional, karena tidak tertutup kemungkinan produk hukum mereka dalam melakukan penahanan maupun memperpanjang status tersangka atau terdakwa akan rawan dan ada celah hukum untuk dilakukannya Praperadilan.
“Sehingga akan muncul nilai-nilai Profesional yang baru ke depan dalam bertindak dan menjalankan tugasnya sebagai Aparat Penegak Hukum, yang tidak hanya bisa memaksakan kehendak dan berlindung dibalik ketentuan UU, yang mana bisa saja salah dalam menafsirkan penerapannya sebagai suatu Justifikasi tindakannya itu akan mungkin sangat merugikan HAM bagi tersangka atau terdakwa yang belum tentu bersalah sampai adanya putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Incracht).
Sementara itu saat dikonfirmasi terkait praperadilan itu, Humas PT Jakarta Sugeng Riyono via Whatsapp mengatakan bisa dilihat nanti Argumentasinya apa dalam persidangan Prapradilan itu seperti apa. Karena hal itukan menyangkut masalah penetapan penahanan.
“Kalau memang tidak berwenang nantikan akan diputuskan oleh hakimnya dalam persidangan. Apakah memenang ada perbuatan kewenangan atau yang digugat, karna sudah memang kelebihan yang seharusnya tidak ditahan tapi ditahan ya, nanti kita lihat dalam persidangan aja ya bagaimana prosesnya,” tandas Sugeng.